Senin, 17 Desember 2018

Waktu Aku Sendiri dan Diajak Beli Bakso

Waktu itu pekan ujian belum dimulai. Kami berbaris di belakang garis yang bukan finish. Ini bukan lomba lari, bukan balap motor, bukan pula renang. Aku berada pada posisi berdiri dengan kaki terbuka kira-kira selebar bahu. Kamu jongkok, tapi kemudian menggulingkan diri.

Sekarang kamu telentang dengan kaki dan tangan terbuka, di tengah tanah lapang becek kota, menggerak-gerakkan keduanya seolah-olah kamu sedang ada di tumpukan salju Februari dalam Eternal Sunshine of The Spotless Mind, kamu aktornya. Aku mengernyitkan dahi, dan kamu memasang wajah tidak peduli, yang kudekoding sebagai, "Persetan dengan pendapatmu," yang barangkali hasil dari dekodingmu terhadap kernyitan dahiku, "Kowe iki lapo?" atau "Cah mendhem," atau "Freak cok," yang sebenarnya cuma, "Ha?".

Kamu masih telentang dan main-main sendiri, aku ingin ikutan, aku menekuk tubuh ke belakang, kayang. Sekarang aku agak senang, langit ada di bawah, tanah ada di atas. Aku selalu ingin ke atas dan menempel di batas langit-langit, yang sekarang langit itu adalah tanah. Aku pernah ingin melawan gravitasi untuk menggapainya, tapi sekarang gravitasi membawaku ke atas. Tiba-tiba aku melihat botol Pocari beriringan dengan Oronamin dan Soyjoy seperti Fiesta Trio yang menyambut Dora setelah melewati jembatan Grumpy Old Troll, bukan untuk menyelamati tetapi mengejek dengan filosofi peta terbalik di Pasuruan. Aku ingin marah, tapi kayang butuh konsentrasi, kamu juga tetap tidak peduli, asyik dengan keasyikanmu sendiri.

Baru saja aku berpikir apakah seharusnya aku kecewa, tapi kemudian aku menatap bangku penonton yang kesemuanya kosong dan orang-orang sibuk sendiri dengan ponsel di depan muka, kamera menyala, menghadap pada wajah masing-masing, di antara penonton yang berdiri, seorang perempuan menggendong bayi dan tengah menyuapkan macam-macam ideologi, yang ketika dimuntahkan, akan disuapkan kembali tidak peduli bagaimana bayi itu mulai menggeliat dan bilang tidak dalam bahasa Jawa sambil melepehkan tiap dua tiga suapan. Jadi aku mengerjapkan mata, berpikir apakah seharusnya aku kecewa ketika semua penduduk kota juga mencari cara untuk memuaskan diri.

Sambil menunggu peluit persiapan berbunyi, aku membuka Spotify dengan kekuatan pikiran, lalu memutar satu lagu Hyukoh yang berbahasa Inggris. Di hadapanku, di langit yang menjadi tanah, aku melihat sampul album 24 Hyukoh tengah melayang, di bagian terdekat dari langit, Gang Gang Schiele terlihat. Lagu berhenti di menit ke 7.31 karena aku lupa lirik lanjutannya, sehingga setelah menit ke 4.02 lagu berputar-putar di menit yang sama. Hyukoh kembali ke dalam kepalaku seperti hologram yang diserap proyektor di mataku.

Usai mendengarkan Hyukoh, aku kembali berpikir tentang apa yang seharusnya aku pikirkan. Apakah penonton yang mulai meninggalkan tanah lapang tanpa bangku ini, apakah deru mobil-mobil matic yang tak pernah leluasa meluncur seperti pada iklan-iklan di televisi, apakah aroma pentol yang berjajar di perbatasan jalan dan tanah lapang, apakah kamu yang masih telentang dan sekarang tertidur dengan senyum mengembang, aku tidak tahu kamu sedang mimpi apa, tapi aku terhibur melihatnya, jadi terima kasih. Aku berpikir lagi, apakah seharusnya sekarang hujan? Karena sesuatu yang kecil dan basah baru saja menyentuh kulit dekat pusarku, kayang membuat kaosku melorot ke dada. Waktu aku mendongak, beberapa yang kecil dan basah lainnya tersangkut di bulu mataku, reflek yang bagus.

Aku ingin mengangkat tangan dan mengajukan usul agar perlombaan ini segera dimulai sebelum hujan lebih deras turun, meskipun saat kayang seperti ini, hujan terlihat naik ke tanah, bukan turun. Dengan susah payah mempertahankan mata agar tidak kelilipan hujan, aku mencoba melihat ke arah bangku penonton yang memang tidak ada. Kukira orang-orang akan berebut berteduh, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Barangkali semuanya memilih pulang atau ke mal saja, kamu yang sedang telentang dan aku yang sedang kayang tidak menarik untuk ditonton lagi, toh aku lebih asyik menonton mereka.

Waktu aku mulai bosan dan berniat meminta perlombaan ini dimajukan saja, podium telah ramai dengan sorak-sorai, kamu berdiri di sana, bersama penduduk kota hebat lainnya, kamu tidak ada di sampingku, tidak sedang telentang apalagi tertidur, hanya jejakmu yang di sini, dan orang-orang tidak peduli. Sorak-sorai itu kini kuketahui bukan untukmu, tapi untuk sementara, seperti perayaan ulang tahun ke-17 yang berlalu semalam saja. Apakah aku harus kecewa karena kamu lebih dulu berdiri di podium, disambut meriah, selagi di mataku kamu terbalik, kepalamu seperti ujung paku yang tajam dan podium itu serupa pantat paku yang menempel pada langitku, tanah. Aku berpikir untuk tidak kecewa saja, karena ia mengambil sebagian ruang di tubuhku untuk merasa lelah, tapi sepertinya kecewa bukan sesuatu yang bisa disugesti, atau setidaknya jika aku bilang tidak, aku akan merasa lebih lelah, kemudian melanjutkan hujan yang sebelumnya bersarang di bulu mataku. Aku menangis, tapi ia tidak akan jatuh ke pipi, melainkan ke dahi.

Kesemuanya membuatku menarik kesimpulan bahwa perlombaan ini dibatalkan, atau telah selesai dan aku dieliminasi tanpa pemberitahuan. Ketika aku akan berdiri melakukan perjalanan ini sendirian, tiba-tiba saja semua orang berdiri di belakang garis, kemudian satu per satu melewatiku dengan teramat cepat. Podium itu sekarang melebar. Semua orang menjadi pemenang. Aku masih kayang, sambil menangis, semakin kencang.


Rabu, 14 November 2018

Sudah Ada Cerita tentang Keangkuhan, Donat-donat, dan Ikan-ikan di Sepanjang Tanjakan Jembatan

24 jam itu akhirnya berlalu juga. Aku tidak perlu repot-repot menghindar meski masih ada-ada saja kail yang menyangkut di tumitkuㅡsehingga aku tidak bisa berlari dengan leluasa.

Lega rasanya ternyata semalam aku tidak jadi menabrak meski setelah menghadap kanan aku kehilangan beberapa detik yang luput dari hitungan, yang iya, sebenarnya selalu kulakukan dan terjadi. Adalah hari kedua aku mencari-cari biasa yang kutinggalkan di Surabaya 4 hari lamanya, lalu begitu di sini kukira ia tertinggal di Kediri.

Ingin rasanya aku mengobok-obok bak mandi, lalu bertanya pada kedua ikan pak Jali, kepada yang lebih gendut sedikit, aku akan tanya apakah banyak orang menyangka ia lebih tua dari temannya, atau apakah orang-orang menyangka ia kakaknya? Siapa yang tahu mereka saudara atau bukan kalau bukan keduanya? Kepada yang lebih kecil dan sering menjauhiku, aku akan tanya apakah ia malu denganku? Atau bagaimana rasanya berhari-hari menatapku, kamiㅡNanta, Dj, Jak, Lon, Arㅡjuga keluarga pak Jali, mandi telanjang di hadapannya? Aku sungguh penasaran, apakah telanjang juga tabu bagi ikan-ikan yang berenang tanpa pakaian?

Lucu sekali bahwa akhir-akhir ini aku merasa jahat-jahat sekali. Sialnya, aku suka, dan aku tidak suka karena aku menyukainya, tidak suka pula untuk mengakuinya bahwa aku sedikit suka aku suka. Suka-suka Shizuka, dia banyak yang suka. Toh kalaupun Dekisugi pintar, tampan, dan kaya, pemeran utamanya tetap Nobita.

Sepanjang aku diam dan rumah-rumah serta kendaraan berlalu mengantarku pergi dari Surabaya, aku ingin menepuk satu demi satu dengan teramat cepat, dengan berlari dari ujung gerbong ke ujung lainnya, rasa memiliki yang terlalu menyesakkan ruang-ruang di gerbong lima, biar hening ganti menampar kesadaran bahwa di tempat ini kita tidak sendirian. Tampar saja aku, tampar saja! Aku memang sedang ingin sok jadi pahlawan.

Padahal, di hari-hari yang panjang itu aku terus merasa terhimpit oleh pertanyaan-pertanyaan seputar vaksinasi, ketepatan bahasa jawaku yang kacau sekali, cara-cara yang tepat untuk pergi ke kamar mandi di malam hari, juga rasa penasaran mengenai air bak mandi yang kuusir dengan lamunan tentang...bagaimana bertanya kepada responden nanti, misalnya.

Ketika akhirnya kami telah selesai, aku menyadari betapa ternyata yang kubutuhkan bukan sarapan cornflake dengan susu greenfields, atau lele goreng dengan pecel, atau roti tawar ovomaltine, atau choco chip cookies starbucks. Aku tidak menikmati mandi bersama ikan, tidak pula menikmati sandal yang lembab dan menguap di setiap siangnya, banyak yang kubenci tapi ternyata aku suka untuk menjadi tidak sendirian. Ternyata meski takut aku selalu ingin didengarkan, seperti nyamuk-nyamuk yang kecil dan berbisik-bisik nyaring tentang harinya di telingamuㅡjangan tepuk aku :(

Sewaktu kami pulang, bu Jali menitipkan syukur-syukur lewat mangga yang kami bagi di kereta, lalu perpisahan di Sepanjang dan berakhir di Gubeng Surabaya. Aku menunggu ayah, tetapi tidak marah-marah. Kepada mas-mas Dunkin Donuts yang ramah, aku sungguh ingin bertanya, tapi aku memilih berdoa saja kemudian. Semoga masnya selalu mendapati hari yang genap dan penuh, seperti ketika masnya mengisi kembali rak-rak donat yang kosong dengan dua-dua-dua yang ditata rapi, cepat, dan cekatan. Semoga juga cahaya selalu ada, meski tidak selalu hangat. 

Di jalanan Surabaya, aku membayangkan kembali jembatan di dekat rumah pak Basori, yang airnya selalu mengalir, saling berkejar dan bertumbukan di batu-batu kali. Kemudian aku berdoa lagi, Semoga juga, nampan-nampan yang kosong segera disambut pintu kontainer yang terbuka, melahapnya dengan b-a-h-a-g-i-a.

Selasa, 30 Oktober 2018

Bukan Forrest Gump

Aku mau push up yang banyak, lari yang jauh. Aku mau berhenti setelah capek sudah selesai.

Aku sudah lari-lari. Beberapa butuh berhari-hari. Dulu sekali, aku pernah tujuh tahun berlari-lari, sendiri.

Aku akan membunuhmu, suatu hari. Akan kuajak lari-lari. Lari-lari, sampai salah satu dari kita, mati.

Minggu, 16 September 2018

Mantra Mantra,

Di tepat sebelum tempat putar balik, aku ingin sekali tertawa. Keras-keras.

Aku cuma bertemu beberapa jam, yang jika dihitung lebih spesifik lagi, ia hanya jadi beberapa menit. Lalu belum apa-apa sudah berprasangka, buru-buru mengamini waktu mendengar cerita yang tidak lebih dari potongan kuku satu hari.

Kamu memilih jadi jahat. Dan aku pura-pura baik, atau hanya ingin terlihat baik, barangkali. Tidak ada yang dapat kamu cegah dari sesuatu yang kamu sendiri tidak pernah tahu pertandanya. Kamu sendiri toh tidak ingin dinilai sama. Lalu, darimana kita harus berkaca?

Kamu pun tidak suka memikirkan betapa mengerikannya manusia dapat berpikir tentang setiap gerik yang kamu gerak. Karenanya, kamu urung meminta ditemani. Karenanya, aku urung berbaik hati. Karenanya, kita bisa-saja-m-a-t-i.



now playing: Rehat - Kunto Aji
on queue: Jakarta Jakarta - Kunto Aji

Selasa, 11 September 2018

Surat Tanpa Alamat

Jakarta, Jakarta
dan kenangannya

Jakarta, Jakarta
dan kenangannya

Aku membayangkan kita bersepeda, malam-malam, dan Surabaya sepi-sepi sekali pada pukul dua lewat lima. Aku ingin menatap Monumen Kapal Selam lebih lama lagi, aku akan berhenti hingga lampu merah keenam telah berganti hijau yang ketujuh. Aku akan menunggu.

Hanamasa dan obor-obor yang menyala, bolehkah aku menghangatkan telapak tangan di sana? Bolehkah aku mengatakan Surabaya adalah rumah, sehingga dimana pun aku berada, di pusat kota, di pesisir Kenjeran, di balkon Tanjung Perak, di bawah Suramadu, di kursi tunggu Juanda, aku akan tetap merasa telah pulang?

Adakah tempat bagi kita untuk mencinta lebih dari di Surabaya? Di jembatan Tunjungan, di parkiran mobil Pakuwon Mall, di penyeberangan Gubeng Airlangga. Di jalan menuju Kebun Binatang Surabaya, di Darmo, di Stasiun Pasar Turi. Di Kampung Ilmu, dimana-mana, dimana-mana. Adakah tempat yang lebih nyaman daripada menemukan banyak tangan yang siap untuk kita genggam?

Adakah tempat bagi kita untuk dicinta lebih dari di Surabaya? Di spion sepeda motor, di ruang kelas, di saat ia berlalu, bisa kita tatap matanya yang tegas, sayu, membara, hangat, lelah. Di bahunya, akan kita tepukkan satu-dua, dan senyum kita akan melekat di sana, menembus kemejanya, kaosnya, kemudian tali branya, kemudian meresap ke dalam pori-pori kulitnya, lalu menembus aliran venanya. Adakah tempat yang lebih nyaman daripada memiliki kedua lengan untuk menyambutnya setiap saat?

Di surat yang kutemukan di perempatan itu, kita menerawang. Tak adakah tempat kencan di Surabaya? Tanyanya. Katanya, tak ada tempat kencan di Surabaya. Tak ada tempat kencan di kota. Tak adakah tempat kencan di kota?

Kita bertatapan.

Jika ada seorang loper koran yang mengasihi pembelinya, atau seorang guru menyayang muridnya, atau aku yang mencinta kucing-kucing jalanan lebih dari diriku sendiri, salahkah ia?

Di Surabaya, dan kenangannya,
kita, cinta, dan definisi yang berkelindan,
Adakah ruang bagi cinta selain kepada anak dan orang tua?

Selasa, 04 September 2018

Dataran Rendah, Tempat Kita Mengucapkan Selamat Jalan

Terakhir kali, kami melakukan tos-selamat-jalan. Aku mengantarnya dengan hati-hati yang hanya sampai di kerongkongan. Rasanya aneh. Berhari-hari sebelumnya aku merasa kelelahan, kewalahan meladeni jadwal, ego, dan gengsi. Tapi harus kutekan dalam-dalam agar kejutan ini tetap mulus jalannya, meski pada akhirnya ia menciumnya juga.

"Kamu kenapa?"

Aku mencoba tertawa, tapi kemudian aku memang tertawa saja. Lucu sekali. Aku sedang melakukannya untuk diriku sendiri, ternyata. Maka kuputuskan untuk mengajaknya kembali ke kamar dan tidur saja sebelum besok akan menambah lelah dan kuharap juga senang. Kami berbicara soal sapi-sapi, perkawinan, lagu-lagu nostalgia, bintang-bintang, dan keserakahan.

Barang-barang di troli bandara menyibukkanku sehingga aku tidak perlu repot-repot mencari topik. Kemudian canggung tersenyum di dashboard mobil menemukan kekhawatiran yang tidak sengaja kutampakkan. Aku meliriknya tajam, ia tertawa puas. Sialan!

Saat itu, kami berkabar sekedarnya. Ada satu hari dimana kami memilih untuk jalan-jalan saja. Dua puluh sekian masih agak lama, kami harus bersabar. Sampai hari ini, kami membangun rencana-rencana dan membiarkannya digerus ombak pesisir, kami akan membangunnya lagi di siang hari, kemudian akan kami temukan mereka tercecer, hilang, dan terlupa keesokan paginya. Bulan dan pasang, kami menikmatinya dengan berbaring, menunggu laut naik ke atas tubuh kami dan menggelitik dengan jemarinya yang teramat luas. Kami bergandeng tangan sampai adzan subuh terdengar. Akan kami berlarian dengan kaos yang lekat dan terawang, dengan tawa-tawa kecil yang kami telan di antara senyum gigi-gigi gigis dan matanya yang melengkung seperti sabit yang baru kami pandang. Aku ingin berpelukan dengan jari-jari yang bersilangan. Nanti, kami akan terbangun di hari yang lain, berjalan sendirian, berpunggungan, lalu kami cari sisa-sisa rencana yang semalam kami biarkan diambil laut ketika kami keasyikan bertatap-tatapan.

Di stasiun baru, aku menyampirkan satu kantong plastik jajan. Kami merasa seperti akrab kembali setelah seribu enam ratus dua puluh tujuh hari menjalani hubungan berjarak. Aku ingin kami berjumpa lagi kapan-kapan, aku ingin kami tetap menjadi teman baik meski banyak hal yang berubah.

Sama, aku juga ingin kami tetap baik meski terus berubah, meski laut akan selalu menelan rencana-rencana kami, aku ingin tetap dapat berbaring bersama dan tergelitik bersama saat ombak menghantam dan memijit tubuh kami.

Hingga nanti, jika ternyata kami terluka karena landak laut, aku ingin mengobatinya tanpa penyesalan, agar tidak ada tujuh tahun lainnya yang menyeretku ke segitiga bermuda.

Senin, 04 Juni 2018

Kita Semua dan Kesombongan yang Gagal

Kadang saya ingin sekali bertanya, "Apa kabar?"
Atau bercanda dan bilang, "HAHA. Iyalah, kamu kan (isi sendiri)"
Kadang saya juga ingin bilang, "Aku capek,"
Kadang lainnya saya ingin marah lalu mengatakan dengan ketus, "Ya sudah!"

Atau tidak usah bilang apa-apa
Kadang saya ingin berlari lalu tiba-tiba memeluk
Di saat yang lain saya ingin datang tanpa bilang apa-apa dan numpang menangis
Kadang lainnya saya ingin melempar kursi pada siapa saja
Kadang-kadang ingin rasanya ditelan kasur atau masuk ke dalam gelas

Tapi kadang lebih baik diam saja
Diam saja
Diam saja

Karena dan agar
saya tidak tahu apa-apa

Minggu, 03 Juni 2018

Kelali

Rasanya tidak ada orang yang suka dibentak-bentak lalu dituding, "Kamu berubah!" *zoom in* *zoom out* *zoom in* *zoom out* *efek layar pecah*

Heran juga. Iya, dong, pasti saya berubah setelah hidup hampir dua puluh tahun ini. Dari yang dulu ginuk-ginuk lucu, sampe sekarang udah nggak lucu sama sekali, soalnya receh :( tapi receh lagi jadi selera masyarakat, sih. HAha.

Barangkali kita memang sulit legowo kalau dihadapkan dengan hal-hal yang nggak sejalan dengan maunya kita. Juga sulit nrimo hal-hal yang nggak sinkron sama rencana. Barangkali kita memang sejak dulu selalu gagal melihat segala sesuatunya sebagai suatu keutuhan. Sehingga kita selalu merasa tahu, padahal tidak sama sekali. Kita cuma mengisi kekosongan dari titik-titik yang kita lihat, lalu membentuknya menyerupai pola-pola yang pernah kita jumpai sebelumnya. Begitu kekosongan yang kita paksa penuhi dengan informasi seadanya itu didesak oleh informasi baru yang ternyata nggak klik, kita mencak-mencak, maido marang Gusti Allah.

Congkak sekali saya sebagai manusia. Lha sing ngewenehi kowe urip iki sopo?

Kamis, 17 Mei 2018

Abyaksa


Aku menyuapinya dengan kunang-kunang yang menyala, sehingga kemudian dapat kulihat bibirnya yang putih kembali merona, pula kuku-kuku ungunya memerah muda. Kurang dari empat puluh tujuh sekon yang lalu kami masih berlarian menghindari hujan anak panah. Sebelum tiba-tiba, hutan menelan kami lebih dalam ke perutnya.

Kukira kami akan mati karena masuk lebih dalam mungkin berarti kami akan tinggal di sini lebih lama. Tapi dua puluh delapan sekon lalu, kami mendengar daun-daun bergemeretak. Mulanya jauh, kemudian kian dekat, lalu salah satu sulurnya mencubit tumitku.

“Auuuuu!” Bebatangan pohon melolong, beriringan, bersahutan, menggema, menenggelamkan aduhanku, pun sisa-sisa keberanianku. Aku terduduk, menyusul gadis bermanik cokelat muda yang tak berkutik sejak terjerembab di bawah sini.

“Aku takut,” Aku mendengar bisik sepatunya yang bergesekan dengan daun ketika ditarik mundur kemudian dipeluknya erat-erat. Aku menghela napas sesaat, sebelum kemudian berniat mengusap surainya yang berantakan pasca adegan berkejaran dengan tidak-tahu-siapa, atau barangkali memberikan pelukan dan puk-puk di punggung untuk menenangkan.

Aku baru saja mengangkat tanganku, bergeser sedikit, “Aku juga takut,” Jemariku menciut mendengar anak rambutnya yang menjuntai mendadak mendesis bersama hawa dingin yang menggigit saraf-saraf krause ujung-ujung jemariku, aku urung.

Hutan yang semula gelap, dingin, dan lembab, perlahan-lahan mendapatkan sumber pencahayaan. Kukira hari telah pagi, barangkali malam terasa lebih cepat lalu karena kami menghabiskannya dengan napas yang menderu dan rasa takut yang menalu-nalu. Kunang-kunang beterbangan membawakan kami air yang cukup untuk diminum berdua. Aku menjepit salah satu yang terbang di dekat ekor mataku. Hangatnya menjalar dari jari-jari ke lengan, lalu tubuh. Aku menangkup tanganku, meraup lebih banyak lagi, lalu mendekapnya, dan mencoba memasukannya seekor ke dalam mulutku. Ia beterbangan, lalu meleleh melewati kerongkonganku, mengalir seperti madu cair ke dalam lambungku dan menggenang di sana.

Akan kusuapkan beberapa kepada Andara, sehingga ketakutan yang melilit tubuhnya dapat menjelma jadi kekuatan untuk pulang dari ketersesatan ini.

Rabu, 04 April 2018

Koridor

(1) Saat mood-mu sedang jelek dan LED telepon pintarmu sudah berkedip merah sehingga playlist "mood1" tidak bisa diputar selama perjalanan pusat ke timur, sedangkan parkiran motor di lantai nomor 5, tetapi lift sudah tidak berfungsi selagi malam itu kamu sendirian dengan laptop 14 inci di tas punggung, lebih baik mengulum senyum simpul sambil menyugesti bahwa 2 lantai lagi tidak jauh dan hitung-hitung olahraga daripada merasa kesal dan meningkatkan denyut di kepala menjadi lebih intens. (2) Di tempat sesempit dan sesesak Surabaya menuju dini hari, masih ada mas-mas ber-hoodie biru benhur berkacamata yang mengendarai motor matic menuruni tanjakan parkiran, lalu memutar balik dan menawarkan tumpangan ke lantai 5ㅡyang saat itu tinggal persis satu lantai lagi. (3) Masih banyak orang-orang baik di dunia yang luas sekali ini, seperti mas-mas yang membantu membukakan tangki bensin saat hari ulang tahun Smala, atau mas-mas pengendara motor ninja yang nggak ngebut waktu di jalanan banyak genangan, atau mas-mas pengendara motor bernopol L 5**4 CT yang membantu mengeluarkan motor di parkiran, atau mbak-mbak yang menambahkan porsi thai tea dengan senang hati meski esnya minta sedikit. (4) Semoga kita selalu dimudahkan Tuhan untuk berbuat kebaikan.



Kira-kira kalau UTS penulisan kreatif kalimatnya sepanjang nomor 1, aku dimarahin, dibilang salah kelas, atau bacot ya?

Senin, 02 April 2018

Menggambar di Buku Gambar

tidak ada kata selesai, meski kita memulai. kamu akan terus tersangkut jala-jala lainnya, karena sejak awal kita telah menandatanganinya, kontrak, sah!

waktu itu, kita saling menoleh, tersenyum meringis malu-malu, senang, "akhirnya kita memulai sesuatu yang baru!" padahal kita baru saja menaruh bahagia di atas selembar materai 6000 yang kamu tempel menggunakan air liur.

untuk orang baperan sepertiku, menjalin hubungan yang singkat tentu terasa melelahkan. hal-hal kecil yang punya korelasi sedikit saja dengan kontrak-kontrak itu, akan dengan mudah melemparku ke hari-hari yang lalu. kemudian mereka menggelitikiku, mengejekku, sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah, kami tinggal pada garis masa yang berbeda. mereka juga akan dengan mudah memarahiku, membuat daftar kesalahan, mendudukkanku di hamparan rumput dekat sungai sambil mengumpatiku. mereka bisa saja sewaktu-waktu menendangku ke sungai, kalau mau.

mereka meninggalkan bulatan hitam besar di buku gambarku, yang bisa dimaknai sebagai apa saja. sebagai insan yang punya kebebasan dalam mempersepsi dan memiliki kemampuan untuk berpikir kreatif, bulatan hitam itu boleh dilihat sebagai buah karya yang cantik nan artistik, atau sebaliknya, bisa pula dilihat sebagai noda bandel yang sulit dikucek seperti pada iklan-iklan deterjen di televisi yang kini sudah jarang kita temui. aku memilih yang kedua.

sebagai konsekuensinya, aku harus memeras otak yang overdosis kandungan gizi mi instan ini. mengubah noda jadi karya seni yang estetique menurut teman-temanku yang hampir seluruhnya selebgram tentu ciyamiq soro. aku takut postinganku malah menjadi topik hangat untuk di-skrinsyut lalu dibagikan ke ruang obrolan kemudian diforumkan guna dievaluasi bersamaㅡsecara online, tentunya, karena genz tidak punya banyak waktu untuk forum offline. menjadi viral di era yang serba digital ini memang gampang, apalagi di negara yang orangnya lucu-lucu menurut Trio Kwek-Kwek yang sekarang jadi memeㅡpadahal aku fans beratnya mereka waktu kecil, sialan memang!

mungkin sekarang aku mulai menciptakan sebuah pemahaman atas wejangan-wejangan ibu-bapak. barangkali hidup memang persaingan ketat, dimana orang-orang berusaha saling sikut dan sikat. makin besar aku tidak selalu makin dewasa. justru keinginan untuk bertingkah seperti bocah yang apa-apa serba sah kian sering muncul, dan aku kelepasan, kadang-kadang. jadi rewel dan manja. ooh, tapi gapapa, kan, namanya juga manusia? membela diri sungguh menyenangkan. siapa lagi yang akan melakukannya kalau bukan kita sendiri? makin besar harus makin dewasa dan mandiri.

aku harus belajar untuk lebih legawa dengan diri sendiri, agar tidak ada yang menyeretku ke pinggir sungai lagi untuk memarah-marahi. memiliki persepsi baru terhadap sesuatu itu boleh-boleh saja, kok. Toh di psikologi komunikasi dijelaskan bahwa persepsi memang dinamis. aku harus jadi lebih egois sedikit, juga lebih peduli sedikit. bersyukur itu lebih dari sekedar mengucapkan terima kasihㅡmenerima dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, juga terus menjalani kontrak-kontrak yang telah kutandatangani sebagai bentuk pertanggungjawaban. kamu juga begitu, seharusnya. tapi mari tidak banyak menuntut sebelum berkaca.

semoga huruf yang serba kecil iniㅡsebagai representasi ketidakpercayaan diriㅡsuatu saat nanti tahu caranya menempatkan diri.

Selasa, 30 Januari 2018

Kita Sudah Pernah Membahas Ini Sebelumnya

Aku garuk-garuk kepala.

"Aduh, sangat keakuan ya,"

Kamu bilang untuk tidak khawatir. Begitu pula Boni, boneka ungu yang sering kucium sebelum tidur itu, ia tetap memasang wajah datar, tapi aku tidak kesal, tidak pula marah. Mungkin sebaiknya kita tahu kapan harus bisa menjadi generator, tapi bukan mengubah energi listrik.

Kalau sedang tidak ingin pulang ke rumah atau rumah terdengar seperti bukan tempat pulang, biasanya kami akan mengubah uang jadi bensin lalu jadi tenaga penggerak Bebe. Kami keliling kota. Dan dengan sengaja membiarkan Google Maps tidak bekerja. Nyetir kok disetir. Duh kah. Kami mengandalkan posisi matahari dan rasi bintang. Bohong deng. Bekal wani doang.

Kalau sedang khawatir, ada baiknya tidak membuka go-food lalu pesan reno-reno. Iya, sih, healing. Emang selain teman, makan adalah obat paling manjur. Betapa relatable-nya saya dengan quotes-quotes tumblrtpgasido.

Pura-pura saja tidak ada apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lakukan saja seadanya. Efek menyesalnya dipikir nanti saja. Dijalani dulu saja. Yang penting dijalani saja. Meng-handle rasa panik karena hal-hal yang kamu benci tentu menyebalkan, atau setidaknya begitu bagiku.

"Santai aja,"

"Nggak usah dipikir berlebihan,"

Rasanya pingin marah, lalu menenggelamkan diri di lantai Wisma Jerman, karena toh menenggelamkan orang-orang yang menyebalkan tidak efektif, terlalu banyak jumlahnya.

Tapi tidak apa-apa. Seperti kemarahan yang mengalir di jari dan huruf-huruf, rasa khawatir bisa diubah jadi keberanian dan ke-sembrono-an. Di situlah kami perlu hati-hati. Seperti memesan menu di cafe. Jangan pesan yang manis-manis, nanti doi kalah manis. Lalu kebingungan mencari lagu apa yang bisa diputar dan didengar bersama-sama sebelum gigi 1 dipindah ke gigi 2.

Kadang kami kehabisan topik, atau memang ingin diam. Jadi tidak ada lagu yang perlu diputar, juga tidak ada yang perlu digumam-gumamkan. Sepanjang perjalanan kami biarkan lengang, cukup jalanan Surabaya saja yang padat. Biar ada jeda. Antara kami dengan kota. Sehingga kami tidak perlu menambah sumber kalor karena terlalu banyak beraktivitas. Cukup Bebe saja. Dan saya yang mengumpat dalam hati kepada pak-pak atau mas-mas yang merokok di atas motor. Sejauh ini belum ketemu mbak-mbak, sih, makanya belum disebutkan.

Sore itu, kami akhirnya menemukan rasa ingin pulang, juga kangen dengan hal-hal yang familiar. Tapi bekerja tidak semudah itu untuk pergi dulu dan mencari rasa kehilangan. Kami berhujan-hujan. Menikmati kemacetan Ahmad Yani, juga jalan di daerah Taman yang isinya truk semua. Kami mengucapkan terima kasih dan syukur di ujung pagar. Sebelum membukanya, kami membuka bungkusan berisi singkong yang uapnya memenuhi kresek transparan pasca kuikat. Aromanya menggoda. Aku menyomot satu, lalu duduk bersama Bebe. Ternyata Surabaya basah dan singkong hangat adalah obat nomor sekian yang juga manjur untuk mengobati rasa-rasa.






Sebelum memasuki rumah bersama Bebe, tiba-tiba saja Panㅡnama akrab Panikㅡmenepuk pundakku. Sialan!