Minggu, 16 September 2018

Mantra Mantra,

Di tepat sebelum tempat putar balik, aku ingin sekali tertawa. Keras-keras.

Aku cuma bertemu beberapa jam, yang jika dihitung lebih spesifik lagi, ia hanya jadi beberapa menit. Lalu belum apa-apa sudah berprasangka, buru-buru mengamini waktu mendengar cerita yang tidak lebih dari potongan kuku satu hari.

Kamu memilih jadi jahat. Dan aku pura-pura baik, atau hanya ingin terlihat baik, barangkali. Tidak ada yang dapat kamu cegah dari sesuatu yang kamu sendiri tidak pernah tahu pertandanya. Kamu sendiri toh tidak ingin dinilai sama. Lalu, darimana kita harus berkaca?

Kamu pun tidak suka memikirkan betapa mengerikannya manusia dapat berpikir tentang setiap gerik yang kamu gerak. Karenanya, kamu urung meminta ditemani. Karenanya, aku urung berbaik hati. Karenanya, kita bisa-saja-m-a-t-i.



now playing: Rehat - Kunto Aji
on queue: Jakarta Jakarta - Kunto Aji

Selasa, 11 September 2018

Surat Tanpa Alamat

Jakarta, Jakarta
dan kenangannya

Jakarta, Jakarta
dan kenangannya

Aku membayangkan kita bersepeda, malam-malam, dan Surabaya sepi-sepi sekali pada pukul dua lewat lima. Aku ingin menatap Monumen Kapal Selam lebih lama lagi, aku akan berhenti hingga lampu merah keenam telah berganti hijau yang ketujuh. Aku akan menunggu.

Hanamasa dan obor-obor yang menyala, bolehkah aku menghangatkan telapak tangan di sana? Bolehkah aku mengatakan Surabaya adalah rumah, sehingga dimana pun aku berada, di pusat kota, di pesisir Kenjeran, di balkon Tanjung Perak, di bawah Suramadu, di kursi tunggu Juanda, aku akan tetap merasa telah pulang?

Adakah tempat bagi kita untuk mencinta lebih dari di Surabaya? Di jembatan Tunjungan, di parkiran mobil Pakuwon Mall, di penyeberangan Gubeng Airlangga. Di jalan menuju Kebun Binatang Surabaya, di Darmo, di Stasiun Pasar Turi. Di Kampung Ilmu, dimana-mana, dimana-mana. Adakah tempat yang lebih nyaman daripada menemukan banyak tangan yang siap untuk kita genggam?

Adakah tempat bagi kita untuk dicinta lebih dari di Surabaya? Di spion sepeda motor, di ruang kelas, di saat ia berlalu, bisa kita tatap matanya yang tegas, sayu, membara, hangat, lelah. Di bahunya, akan kita tepukkan satu-dua, dan senyum kita akan melekat di sana, menembus kemejanya, kaosnya, kemudian tali branya, kemudian meresap ke dalam pori-pori kulitnya, lalu menembus aliran venanya. Adakah tempat yang lebih nyaman daripada memiliki kedua lengan untuk menyambutnya setiap saat?

Di surat yang kutemukan di perempatan itu, kita menerawang. Tak adakah tempat kencan di Surabaya? Tanyanya. Katanya, tak ada tempat kencan di Surabaya. Tak ada tempat kencan di kota. Tak adakah tempat kencan di kota?

Kita bertatapan.

Jika ada seorang loper koran yang mengasihi pembelinya, atau seorang guru menyayang muridnya, atau aku yang mencinta kucing-kucing jalanan lebih dari diriku sendiri, salahkah ia?

Di Surabaya, dan kenangannya,
kita, cinta, dan definisi yang berkelindan,
Adakah ruang bagi cinta selain kepada anak dan orang tua?

Selasa, 04 September 2018

Dataran Rendah, Tempat Kita Mengucapkan Selamat Jalan

Terakhir kali, kami melakukan tos-selamat-jalan. Aku mengantarnya dengan hati-hati yang hanya sampai di kerongkongan. Rasanya aneh. Berhari-hari sebelumnya aku merasa kelelahan, kewalahan meladeni jadwal, ego, dan gengsi. Tapi harus kutekan dalam-dalam agar kejutan ini tetap mulus jalannya, meski pada akhirnya ia menciumnya juga.

"Kamu kenapa?"

Aku mencoba tertawa, tapi kemudian aku memang tertawa saja. Lucu sekali. Aku sedang melakukannya untuk diriku sendiri, ternyata. Maka kuputuskan untuk mengajaknya kembali ke kamar dan tidur saja sebelum besok akan menambah lelah dan kuharap juga senang. Kami berbicara soal sapi-sapi, perkawinan, lagu-lagu nostalgia, bintang-bintang, dan keserakahan.

Barang-barang di troli bandara menyibukkanku sehingga aku tidak perlu repot-repot mencari topik. Kemudian canggung tersenyum di dashboard mobil menemukan kekhawatiran yang tidak sengaja kutampakkan. Aku meliriknya tajam, ia tertawa puas. Sialan!

Saat itu, kami berkabar sekedarnya. Ada satu hari dimana kami memilih untuk jalan-jalan saja. Dua puluh sekian masih agak lama, kami harus bersabar. Sampai hari ini, kami membangun rencana-rencana dan membiarkannya digerus ombak pesisir, kami akan membangunnya lagi di siang hari, kemudian akan kami temukan mereka tercecer, hilang, dan terlupa keesokan paginya. Bulan dan pasang, kami menikmatinya dengan berbaring, menunggu laut naik ke atas tubuh kami dan menggelitik dengan jemarinya yang teramat luas. Kami bergandeng tangan sampai adzan subuh terdengar. Akan kami berlarian dengan kaos yang lekat dan terawang, dengan tawa-tawa kecil yang kami telan di antara senyum gigi-gigi gigis dan matanya yang melengkung seperti sabit yang baru kami pandang. Aku ingin berpelukan dengan jari-jari yang bersilangan. Nanti, kami akan terbangun di hari yang lain, berjalan sendirian, berpunggungan, lalu kami cari sisa-sisa rencana yang semalam kami biarkan diambil laut ketika kami keasyikan bertatap-tatapan.

Di stasiun baru, aku menyampirkan satu kantong plastik jajan. Kami merasa seperti akrab kembali setelah seribu enam ratus dua puluh tujuh hari menjalani hubungan berjarak. Aku ingin kami berjumpa lagi kapan-kapan, aku ingin kami tetap menjadi teman baik meski banyak hal yang berubah.

Sama, aku juga ingin kami tetap baik meski terus berubah, meski laut akan selalu menelan rencana-rencana kami, aku ingin tetap dapat berbaring bersama dan tergelitik bersama saat ombak menghantam dan memijit tubuh kami.

Hingga nanti, jika ternyata kami terluka karena landak laut, aku ingin mengobatinya tanpa penyesalan, agar tidak ada tujuh tahun lainnya yang menyeretku ke segitiga bermuda.