Selasa, 03 September 2019

Terpelintir di Orbit Galaksi

Hutan. Di sekitar sembilan belas per sebelas hari ke arah barat daya, jembatan.

Kami terbiasa menghitung mundur sampai matahari hilang di urutan ke hampir ratusan. Kami akan berjingkat-jingkat di hitungan puluhan, sembunyi di antara rerumputan. Kadang ketika kami tumbuh besar, daun tertinggi hanyalah sebatas mata kaki dan jari-jari. Kami raksasa, dan dunia adalah semut-semut hitam yang mengerubungi telapak kaki. Dunia adalah debu-debu yang tersangkut di pilinan benang-benang yang menyusun sepatu kami. Dunia begitu kecil. Sangat mungil hingga tidak ada yang dapat kami lihat selain diri kami sendiri.

Pada hari-hari dimana matahari terasa terlalu terik, kami mengambil genangan becek laut bumi untuk membasuh matahari yang tak lebih dari satu bulan di atas kepala kami. Kadang kami kesepian. Tidak banyak yang dapat kami lakukan karena Athena hanya sebersinan jauhnya. Di hari-hari kami adalah raksasa, hal-hal besar begitu mudah kami genggam, sedang hal-hal kecil adalah yang selalu terabaikan. Mereka luput dari pandangan.

Malam adalah jubah yang kelap-kelip di tubuh kami. Di kepala kami, bintang-bintang seperti kunang-kunang di dalam permen cokelat chacha dan planet-planet adalah gumpalan serbuk pop ice bubble gum, melon, mangga, dan sirsak yang melayang-layang. Sesak. Rasanya sesak. Dunia terlalu kecil sehingga kami dapat mendengar binatang-binatang yang berkejaran dengan nafsu yang menetes-netes di ujung hidungnya, ego yang saling silang di dentang-denting dinding-dinding yang pecah, marah-marah yang menguap di corong-corong rumah, desah-keluh-kesah yang tak habis-habis dihembus-hempaskan pada gemericik langkah-langkah yang lelah. Malam adalah resah; membumbung; merekahㅡTerlambat.

Duduk di tempat.
Jalanan padat.
Matahari menyengat.
Kamu melihat: pria melompat,
memeluk tiang lampu merah yang sejak tadi dihujat-hujat.
Ia menggeliat, menari. Kamu tercekat.
Napas jadi berat.
                          Kamu pusing,
       ia berputar seperti gasing.
Dunia berputar seperti gasing.
      Asing.
       Bising.
Klakson saling berdesing
                      di kuping.

Lampu masih merah, klakson kian nyaring.
Bising.
Bising.
Anjing.
Anjing kencing. Pesing.

Asing. Bising. Pesing. Anjing.

Kamu sesak.
           Kecil.
             Kecil.
               Kecil.

Dihimpit jok dan atap mobil.

Dijepit langit dan inti bumi.

Kami, terpelintir
                   di orbit galaksi.

Minggu, 16 Juni 2019

ini((itu))

8.57 PM

(itu) berterima kasih untuk sesuatu(seseorang) yang tidak benar-benar ada.
itu(dia) mengulurkan itu(tangan) dan mengajak (itu) pergi berlarian.
itu(dia) sesuatu(seseorang) yang tidak benar-benar ada dan hadir sebagai guna(pahlawan).


12.54 AM

halo (itu)
terima kasih untuk tidak berpindah(menyerah)
(itu) memang(telah) mati(mati)
nanti ini((itu)) bertemu lagi di hari yang ini((itu)) tidak ada.

Senin, 25 Maret 2019

cheocheo

halo, aku.
mari berani untuk menghadapi ketakutan
mari berani untuk berdiri dan menyeberang
mari berlari sampai tidak ada napas yang tersisa
kamu boleh mati, nanti, tapi tidak hari ini

Jumat, 11 Januari 2019

Saatnya Kembali

Nggerong kaya kucing.

Beberapa detik di antara menit-menit yang kepayahan, pertanyaan-pertanyaan yang menguap seperti gerimis deras yang menggenang di sela ban bekas. Sementara, kotak-kotak tersier perlu diusung dan dialirkan lewat parit-parit kecil di perumahan, gang-gang perkampungan, menyatu bersama limbah rumah tangga, sementara.... Kata-kata harus terus berlomba, melompat, terjun, bersahutan, menggema, seperti sepi-sepi ketika lumba-lumba berbicara. Nantinya, di akhir pekan, kami akan berjumpa di lautan, dihirup ikan-ikan, penyu, dan kapal selam. Kami akan dihirup dan dihembuskan, disemburkan paus lewat punggung kepalanya.

1.33.22

23.34

15.09

23.58

Cerita-cerita yang habis di perjalanan, yang tumpah di jeglongan Ciliwung-Progo, yang gembos di kampus dan didongkrak dengan ragu-ragu, bimbang, resah, malu, pertemuan tapi perpisahan, salam-salam canggung, teh tengah malam, kantuk-kantuk yang menetes di meja kerja, di pangkuan, di atas keyboard dan terantuk kamera.

Tepukan di pipi, cium, peluk, tinju, tampar, marah-marah-marah, angka-angka serta kata-kata yang tak pernah berhenti berbicara mengenai persepsi, tuduhan, pembelaan yang merangkak tapi diinjak-injak. Tidak ada yang lebih damai daripada kericuhan itu sendiri. Yang hanya kami sutradaranya, penulisnya, kameranya, aktornya, penontonnya, pada panggung yang tidak ada.

Waktu tiba-tiba seperti kereta dan kami serupa angin yang terberai. Seperti kapuk bantal yang terlindas, kami berhambur dengan cantik, estetik. Kami butuh ditolong dari sesuatu yang tidak ada, dari lilitan kain yang benang-benangnya tak ada, dan menginginkan jembatan yang daratannya tak ada.

2 3 4

Istirahat di tempat. Tidak ada yang tahu bagaimana hitungan sering mengecohkan, seolah-olah kami berada di lajur yang tepat, kemudian terpelanting ke pukul empat lewat sebelas, ketika azan subuh terdengar tapi kami baru lelap. Kamu sungguh teramat baik, dekat, dan menyingkap tirai nomor dua kemudian membuat kesepakatan dengan lembut dan manipulatif bahwa aku perlu bangun dan sembahyang. Dan dari balik sujudku kadang aku suka mengintip lewat sela-sela mukena, begitu iri dan takjub pada ujung jari-jarimu yang menempel pada sajadah, sedang kami terus berdebat, kita tidak seharusnya mengiri hati.

Sebelum kamu bangun, aku lebih dulu melempar bibit-bibit hujan ke tambak udang. Jika kamu bangun nanti, kita akan menemui tuarang yang ter-amat-panjang.

Dan kita tahu, ini adalah saatnya