Senin, 17 Desember 2018

Waktu Aku Sendiri dan Diajak Beli Bakso

Waktu itu pekan ujian belum dimulai. Kami berbaris di belakang garis yang bukan finish. Ini bukan lomba lari, bukan balap motor, bukan pula renang. Aku berada pada posisi berdiri dengan kaki terbuka kira-kira selebar bahu. Kamu jongkok, tapi kemudian menggulingkan diri.

Sekarang kamu telentang dengan kaki dan tangan terbuka, di tengah tanah lapang becek kota, menggerak-gerakkan keduanya seolah-olah kamu sedang ada di tumpukan salju Februari dalam Eternal Sunshine of The Spotless Mind, kamu aktornya. Aku mengernyitkan dahi, dan kamu memasang wajah tidak peduli, yang kudekoding sebagai, "Persetan dengan pendapatmu," yang barangkali hasil dari dekodingmu terhadap kernyitan dahiku, "Kowe iki lapo?" atau "Cah mendhem," atau "Freak cok," yang sebenarnya cuma, "Ha?".

Kamu masih telentang dan main-main sendiri, aku ingin ikutan, aku menekuk tubuh ke belakang, kayang. Sekarang aku agak senang, langit ada di bawah, tanah ada di atas. Aku selalu ingin ke atas dan menempel di batas langit-langit, yang sekarang langit itu adalah tanah. Aku pernah ingin melawan gravitasi untuk menggapainya, tapi sekarang gravitasi membawaku ke atas. Tiba-tiba aku melihat botol Pocari beriringan dengan Oronamin dan Soyjoy seperti Fiesta Trio yang menyambut Dora setelah melewati jembatan Grumpy Old Troll, bukan untuk menyelamati tetapi mengejek dengan filosofi peta terbalik di Pasuruan. Aku ingin marah, tapi kayang butuh konsentrasi, kamu juga tetap tidak peduli, asyik dengan keasyikanmu sendiri.

Baru saja aku berpikir apakah seharusnya aku kecewa, tapi kemudian aku menatap bangku penonton yang kesemuanya kosong dan orang-orang sibuk sendiri dengan ponsel di depan muka, kamera menyala, menghadap pada wajah masing-masing, di antara penonton yang berdiri, seorang perempuan menggendong bayi dan tengah menyuapkan macam-macam ideologi, yang ketika dimuntahkan, akan disuapkan kembali tidak peduli bagaimana bayi itu mulai menggeliat dan bilang tidak dalam bahasa Jawa sambil melepehkan tiap dua tiga suapan. Jadi aku mengerjapkan mata, berpikir apakah seharusnya aku kecewa ketika semua penduduk kota juga mencari cara untuk memuaskan diri.

Sambil menunggu peluit persiapan berbunyi, aku membuka Spotify dengan kekuatan pikiran, lalu memutar satu lagu Hyukoh yang berbahasa Inggris. Di hadapanku, di langit yang menjadi tanah, aku melihat sampul album 24 Hyukoh tengah melayang, di bagian terdekat dari langit, Gang Gang Schiele terlihat. Lagu berhenti di menit ke 7.31 karena aku lupa lirik lanjutannya, sehingga setelah menit ke 4.02 lagu berputar-putar di menit yang sama. Hyukoh kembali ke dalam kepalaku seperti hologram yang diserap proyektor di mataku.

Usai mendengarkan Hyukoh, aku kembali berpikir tentang apa yang seharusnya aku pikirkan. Apakah penonton yang mulai meninggalkan tanah lapang tanpa bangku ini, apakah deru mobil-mobil matic yang tak pernah leluasa meluncur seperti pada iklan-iklan di televisi, apakah aroma pentol yang berjajar di perbatasan jalan dan tanah lapang, apakah kamu yang masih telentang dan sekarang tertidur dengan senyum mengembang, aku tidak tahu kamu sedang mimpi apa, tapi aku terhibur melihatnya, jadi terima kasih. Aku berpikir lagi, apakah seharusnya sekarang hujan? Karena sesuatu yang kecil dan basah baru saja menyentuh kulit dekat pusarku, kayang membuat kaosku melorot ke dada. Waktu aku mendongak, beberapa yang kecil dan basah lainnya tersangkut di bulu mataku, reflek yang bagus.

Aku ingin mengangkat tangan dan mengajukan usul agar perlombaan ini segera dimulai sebelum hujan lebih deras turun, meskipun saat kayang seperti ini, hujan terlihat naik ke tanah, bukan turun. Dengan susah payah mempertahankan mata agar tidak kelilipan hujan, aku mencoba melihat ke arah bangku penonton yang memang tidak ada. Kukira orang-orang akan berebut berteduh, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Barangkali semuanya memilih pulang atau ke mal saja, kamu yang sedang telentang dan aku yang sedang kayang tidak menarik untuk ditonton lagi, toh aku lebih asyik menonton mereka.

Waktu aku mulai bosan dan berniat meminta perlombaan ini dimajukan saja, podium telah ramai dengan sorak-sorai, kamu berdiri di sana, bersama penduduk kota hebat lainnya, kamu tidak ada di sampingku, tidak sedang telentang apalagi tertidur, hanya jejakmu yang di sini, dan orang-orang tidak peduli. Sorak-sorai itu kini kuketahui bukan untukmu, tapi untuk sementara, seperti perayaan ulang tahun ke-17 yang berlalu semalam saja. Apakah aku harus kecewa karena kamu lebih dulu berdiri di podium, disambut meriah, selagi di mataku kamu terbalik, kepalamu seperti ujung paku yang tajam dan podium itu serupa pantat paku yang menempel pada langitku, tanah. Aku berpikir untuk tidak kecewa saja, karena ia mengambil sebagian ruang di tubuhku untuk merasa lelah, tapi sepertinya kecewa bukan sesuatu yang bisa disugesti, atau setidaknya jika aku bilang tidak, aku akan merasa lebih lelah, kemudian melanjutkan hujan yang sebelumnya bersarang di bulu mataku. Aku menangis, tapi ia tidak akan jatuh ke pipi, melainkan ke dahi.

Kesemuanya membuatku menarik kesimpulan bahwa perlombaan ini dibatalkan, atau telah selesai dan aku dieliminasi tanpa pemberitahuan. Ketika aku akan berdiri melakukan perjalanan ini sendirian, tiba-tiba saja semua orang berdiri di belakang garis, kemudian satu per satu melewatiku dengan teramat cepat. Podium itu sekarang melebar. Semua orang menjadi pemenang. Aku masih kayang, sambil menangis, semakin kencang.