Senin, 20 Desember 2021

Cha Cha Cha: Teh Bukan, Hometown Bukan

Cha, boleh aku izin?

Sehari, seharu
Aku senang kita bertemu. Setidaknya, untuk beberapa saat aku lupa bernapas susah rasanya. Atau aku punya alasan untuk pura-pura tak apa.

Cha, aku belum memikirkan ingin kemana, tapi rasanya kok sepertinya aku akan pergi jauh? Boleh, Cha?

Baik, lho. Berupaya.
Kadang perlu tahu kapan harus berhenti dan menyadari bahwa diam tak berarti stagnan. Tahu batas, jangan keras-keras, nanti bundas.

Sudah biasa, Cha. Kalau terbentur kaki meja, menyikut gagang pintu, menabrak tiang bendera, aku sudah pernah semua dan saking seringnya kadang lupa. Kok ini memar, ya? Luka biasa, tapi tidak cantik.

Sesak itu belum reda,
dan belum hilang jua.

Barangkali batas itu sudah kutahu, tapi 
kemudi ini bukan aku yang pegang kendali.

Bilamana ada jiwa ada raga, kami ini sering duduk bersebelahan di jok depan. Aku bilang, "SUDAH!" tapi raga budeg, kupingnya buntu disumpal musik dan hentak angin jalan tol ber-gembrebek bikin sumpek. Dia gas pol, aku gemas ingin nampol.

Cha, jalan masih jauh, ya?
Ini rest area atau apa? Aku mau tidur yang lama dan panjang, apa diizinkan? Aku mau dikenang, tapi atas apa? Yang berisik itu kepala, yang diam dibungkam suara lainnya.

Cha bukan mobil. Chacha bukan permen.

Cha cha cha, bukan hometown.

Teh teh teh, tak dengan kang.

Cha, cha, cha, cha, cha, cha-atnya lambaikan tangan, mari katakan, chalamat jalan~

Kamis, 16 Desember 2021

Bahu Hangat Itu Kutinggal Pergi

Kamis, enam belas di bulan Desember. Hari yang kuawali dengan pulang, hampir menabrak bak sampah karena kacamataku pecah sebelah. Aku sulit mengingat, benarkah hari telah berkurang satu dari hitungan menuju tahun baru?

Mengurus urusan yang tak habis-habis namun aku tidak tahu, itu apa dan untuk apa? Pesan-pesan bertukar, masuk-keluar. Rindu dan ajak temu, salam dan perjumpaan, kosong dan penuh basa-basi, kunikmati, kucoba maknai, tapi seperti merebus air dan kutinggal mandi, aku kembali dan melongok bingung, kemana semua pergi?

Hitungan terasa lambat. Kadang aku merasa, bagaimana bisa seseorang betah duduk diam dan bilang kehampaan itu nikmat? Pernah kudengar seorang tabib menasihatiku untuk hanya menghirup dan menatap malam Surabaya lamat-lamat, tapi mana aku bisa? Caraku adalah berdansa! Seorang yang lain berkata, sulap keahliannya, dan kalau aku ingin tahu kehebatannya, aku harus mau diam dan membiarkan triknya melucuti akalku yang masih sehat bekerja. Kenikmatan yang kucari, apa bagian dari yang mengawang-awang di semesta, yang bukan bagian dari himpunan dan tak beririsan?

Kursi untuk bersandar. Pada siang yang mendung ini aku mondar-mandir mengurus berkas kelulusan dan penghargaan. Usai dengan tanda tangan dan angka-angka yang kuisi tapi tak kukenali, aku bersandar di dinding kamar mandi. Hampir empat belas bulan ruang menariku hanya sepanjang 4 bilik dan dua wastafel yang mengakhiri koridor kecil ini, sementara di gedung yang gagah bermegah-megah ini aku sering kesulitan untuk bernapas, seperti udara dan manusia berebut menghimpit-pipihkan tubuhku dan ingin membuatnya tiada.

Aku bertanya lagi, ini hari apa? Kamis, katanya. Dinding kamar mandi dingin dan ruang ini tak seterang biasanya. Aku menghela napas, namun dada yang sesak tak lantas lega meski sudah kucoba untuk melonggarkan tali beha. Udara mungkin memadat di hari penghujan karena kudengar peluit kereta dan desing lajunya dari barat penjara.

Menu makan siang hari ini adalah sepi yang menanak beras menjadi nasi. Denting sendok beradu piring dan seruput kuah sayur saling sahut. Kudengar samar-samar tawa merambat dari tiang-tiang yang menyangga lantai satu. Di atas sini, hangatku cuma bisa kutitipkan pada dua bahu, selebihnya menurunkan suhu dan aku lelah pura-pura tidak kedinginan.

Nanti, bila pukul empat kurang lima tiba, aku mau lari dan bergegas menjejalkan seluruh basa-basi ke bagasi. Aku pergi.



Besok, kembali.