Selasa, 29 Maret 2016

Jus Mangga dan Aslan

Pernah tidak, sih, kamu sangat lelah tapi tidak bisa tidur?

Rasanya kayak minum jus mangga waktu Lucy-nya Narnia nyari Aslan.

Nggak ada hubungannya.

Ya, memang kayak gitu.

Mungkin lelah dan nggak bisa tidur itu nggak ada hubungannya. Sama kayak jus mangga dan Lucy yang nyari Aslan. Mungkin yang kita perlukan bukan jus mangganya atau tidurnya. Mungkin yang kita perlukan adalah perenungan dalam ketenangan dalam kesendirian dalam gelapnya malam.

Bukan apa-apa. Hanya saja, bukankah manusia sudah terlalu sibuk dengan dunia sejak matahari menampakkan cercah sinarnya? Bukankah manusia sudah terlarut dalam dunia selama senja masih bertengger di cakrawala? Lalu, kapan waktunya berkaca kalau tidak menyisihkan sebagian dari yang tersisa?

Manusia memang suka begitu. Suka lupa. Suka lupa mana darat muasalnya. Suka terbang ketinggian lalu tersangkut di awan. Suka asal bicara tanpa ditata. Sampai lupa juga kalau sudah bikin banyak hati terluka lewat lidah yang katanya (enak kalau disemur) takbertulang.

Sialnya, kadang aku sendiri suka lupa,

Ah, iya, aku juga manusia.

Kamis, 24 Maret 2016

Reaksi Eksoterm di Taksi

Pernah tidak, sih, kamu duduk di kursi taksi yang hening sambil memperhatikan bapak sopirnya, lalu kamu mendadak merinding?

Kayak punggungmu baru dikelitik ekor sapi. Bonus reaksi eksoterm.

Tiba-tiba aja hawa panas keluar dan kamu merasa dingin.

Kayak ditinggalkan sendirian.
Meskipun kamu nggak sendirian.
Meski kenyataannya kita semua selalu sendirian.
Hanya seolah-olah tidak sendirian.

Rabu, 23 Maret 2016

Kacang Kapri, Teori Darwin, dan Demo Sopir Ojek dan Taksi

Kata Darwin, jerapah leher pendek gagal melalui proses seleksi alam.

Tadi, aku membuka bungkus kacang kapri goreng. Mau kutuang ke toples, ceritanya. Aku sudah menuangnya pelan-pelan, hati-hati, dan pakai perasaan (soalnya itu jajan kesukaanku). Tapi ternyata ada beberapa butir yang meleset, menggelinding cantik di atas meja dapur, sebelum akhirnya terjun bebas ke lantai--dan cuma kulihatin karena aku memang masih belum selesai nuang dan mager buat nyelamatin.

Mungkin kayak gitu gambarannya proses seleksi alam.

Kamu (atau aku) (atau kita) kurang beruntung. Bahkan kalau pun kita sudah berada di tempat yang sama, di bungkus yang sama, dan tinggal nyemplung bersama juga ke toples yang sama. Tapi, toh, kenyataannya nggak semudah itu untuk bisa terus bersama-sama sampai dikunyah dan meluncur ke lambung yang sama. Entah kamu akan menyebutnya itu takdir, kurang berusaha, atau malah saling meninggalkan.

Pernah tidak, sih, punya pikiran licik semacam, "Ah, jangan-jangan aku sengaja ditinggalkan." atau mungkin juga, "Ah, mereka lupa kalau punya teman."

Mungkin kacang kapri yang jatuh tadi sempat sedih. Mungkin dia teledor. Harusnya dia ikut nyemplung ke toples, Tapi karena terlalu kepo sama dunia di luar toples, dia lupa ke mana seharusnya dia pergi. Dan teman-temannya juga diam saja, atau mungkin sibuk sendiri-sendiri, memikirkan apa badannya sudah lengkap untuk migrasi ke dalam toples, lalu lupa kalau seharusnya sesama teman saling mengingatkan. Lalu kacang kapri yang jatuh tadi cuma bisa sedih, menyesal kenapa dia lalai, tapi juga menyalahkan kacang-kacang kapri lainnya yang nggak mengingatkan.

Di sisi lain, kacang-kacang kapri yang berhasil masuk ke dalam toples mungkin juga sedang saling menggerutu satu sama lain. Muring-muring. Kok bisa ada teman mereka yang ketinggalan. Padahal sekian lama di bungkus yang sama sudah membuat mereka berjanji untuk nggak akan saling meninggalkan--katanya, sih, kekeluargaan, Mungkin mereka menyesal juga. Kenapa tadi terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Tapi juga menyalahkan kacang kapri yang jatuh. Kata mereka, "Kan, itu tanggung jawab masing-masing juga. Apa kami harus selalu mengingatkan?"

Mungkin jerapah leher pendek dan panjang, dulunya, sama kayak kacang-kacang kapri yang pindah dari bungkus ke toples. Mereka harusnya sama-sama melewati proses seleksi alam--dan sama-sama lolos, andai bisa. Mungkin jerapah leher pendek sama sedihnya kayak kacang kapri yang nggak masuk toples. Dan mungkin juga, jerapah leher panjang sama menyesalnya kayak kacang kapri di toples, "Kenapa dulu nggak aku bantuin ambil makan aja? Toh, kita bisa bagi tugas. Aku ambil makan, dia siapin minum."

Mungkin juga soal seleksi alam ini kayak masalah demo sopir ojek dan taksi yang baru kemarin di ibukota--dan beberapa kota lainnya mungkin? Sopir ojek dan taksi konvensional nggak salah, kok. Mereka benar untuk membela haknya, juga bersuara. Sama halnya kayak sopir ojek dan taksi online yang juga sama-sama cari nafkah untuk keluarga.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini memang sama kejamnya sama seleksi alam (atau mungkin lebih?). Kalau tidak jeli, kita bisa tergilas, terbuang kapan saja--sama kayak kacang kapri di luar toples dan jerapah leher pendek yang sekarang sudah punah. Tapi jelas, nggak akan ada manusia yang mau disamakan dengan jerapah leher pendek, apalagi kacang kapri goreng.

Paling tidak, sanggahan itu harusnya bisa memotivasi. Supaya kita (mungkin juga sopir ojek dan taksi beserta segenap pemimpin dan pimpinannya) nggak melulu diam melihat munculnya inovasi-inovasi baru yang memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Yah, kenyataannya, merealisasikan hal semacam itu pun juga nggak semudah cari tempat yang aman untuk kentut di tempat umum (yang juga sulit, versiku).

Namanya juga proses untuk lolos dari seleksi, jelas nggak akan semudah lolos lewat jalur belakang //bukan//

Pokoknya, kamu yang bisa baca sampai bagian akhir tulisan ini, mungkin kamu nggak lolos seleksi. Seleksi memanfaatkan waktu dengan baik, mungkin?