Jumat, 11 Januari 2019

Saatnya Kembali

Nggerong kaya kucing.

Beberapa detik di antara menit-menit yang kepayahan, pertanyaan-pertanyaan yang menguap seperti gerimis deras yang menggenang di sela ban bekas. Sementara, kotak-kotak tersier perlu diusung dan dialirkan lewat parit-parit kecil di perumahan, gang-gang perkampungan, menyatu bersama limbah rumah tangga, sementara.... Kata-kata harus terus berlomba, melompat, terjun, bersahutan, menggema, seperti sepi-sepi ketika lumba-lumba berbicara. Nantinya, di akhir pekan, kami akan berjumpa di lautan, dihirup ikan-ikan, penyu, dan kapal selam. Kami akan dihirup dan dihembuskan, disemburkan paus lewat punggung kepalanya.

1.33.22

23.34

15.09

23.58

Cerita-cerita yang habis di perjalanan, yang tumpah di jeglongan Ciliwung-Progo, yang gembos di kampus dan didongkrak dengan ragu-ragu, bimbang, resah, malu, pertemuan tapi perpisahan, salam-salam canggung, teh tengah malam, kantuk-kantuk yang menetes di meja kerja, di pangkuan, di atas keyboard dan terantuk kamera.

Tepukan di pipi, cium, peluk, tinju, tampar, marah-marah-marah, angka-angka serta kata-kata yang tak pernah berhenti berbicara mengenai persepsi, tuduhan, pembelaan yang merangkak tapi diinjak-injak. Tidak ada yang lebih damai daripada kericuhan itu sendiri. Yang hanya kami sutradaranya, penulisnya, kameranya, aktornya, penontonnya, pada panggung yang tidak ada.

Waktu tiba-tiba seperti kereta dan kami serupa angin yang terberai. Seperti kapuk bantal yang terlindas, kami berhambur dengan cantik, estetik. Kami butuh ditolong dari sesuatu yang tidak ada, dari lilitan kain yang benang-benangnya tak ada, dan menginginkan jembatan yang daratannya tak ada.

2 3 4

Istirahat di tempat. Tidak ada yang tahu bagaimana hitungan sering mengecohkan, seolah-olah kami berada di lajur yang tepat, kemudian terpelanting ke pukul empat lewat sebelas, ketika azan subuh terdengar tapi kami baru lelap. Kamu sungguh teramat baik, dekat, dan menyingkap tirai nomor dua kemudian membuat kesepakatan dengan lembut dan manipulatif bahwa aku perlu bangun dan sembahyang. Dan dari balik sujudku kadang aku suka mengintip lewat sela-sela mukena, begitu iri dan takjub pada ujung jari-jarimu yang menempel pada sajadah, sedang kami terus berdebat, kita tidak seharusnya mengiri hati.

Sebelum kamu bangun, aku lebih dulu melempar bibit-bibit hujan ke tambak udang. Jika kamu bangun nanti, kita akan menemui tuarang yang ter-amat-panjang.

Dan kita tahu, ini adalah saatnya