Senin, 02 April 2018

Menggambar di Buku Gambar

tidak ada kata selesai, meski kita memulai. kamu akan terus tersangkut jala-jala lainnya, karena sejak awal kita telah menandatanganinya, kontrak, sah!

waktu itu, kita saling menoleh, tersenyum meringis malu-malu, senang, "akhirnya kita memulai sesuatu yang baru!" padahal kita baru saja menaruh bahagia di atas selembar materai 6000 yang kamu tempel menggunakan air liur.

untuk orang baperan sepertiku, menjalin hubungan yang singkat tentu terasa melelahkan. hal-hal kecil yang punya korelasi sedikit saja dengan kontrak-kontrak itu, akan dengan mudah melemparku ke hari-hari yang lalu. kemudian mereka menggelitikiku, mengejekku, sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah, kami tinggal pada garis masa yang berbeda. mereka juga akan dengan mudah memarahiku, membuat daftar kesalahan, mendudukkanku di hamparan rumput dekat sungai sambil mengumpatiku. mereka bisa saja sewaktu-waktu menendangku ke sungai, kalau mau.

mereka meninggalkan bulatan hitam besar di buku gambarku, yang bisa dimaknai sebagai apa saja. sebagai insan yang punya kebebasan dalam mempersepsi dan memiliki kemampuan untuk berpikir kreatif, bulatan hitam itu boleh dilihat sebagai buah karya yang cantik nan artistik, atau sebaliknya, bisa pula dilihat sebagai noda bandel yang sulit dikucek seperti pada iklan-iklan deterjen di televisi yang kini sudah jarang kita temui. aku memilih yang kedua.

sebagai konsekuensinya, aku harus memeras otak yang overdosis kandungan gizi mi instan ini. mengubah noda jadi karya seni yang estetique menurut teman-temanku yang hampir seluruhnya selebgram tentu ciyamiq soro. aku takut postinganku malah menjadi topik hangat untuk di-skrinsyut lalu dibagikan ke ruang obrolan kemudian diforumkan guna dievaluasi bersamaㅡsecara online, tentunya, karena genz tidak punya banyak waktu untuk forum offline. menjadi viral di era yang serba digital ini memang gampang, apalagi di negara yang orangnya lucu-lucu menurut Trio Kwek-Kwek yang sekarang jadi memeㅡpadahal aku fans beratnya mereka waktu kecil, sialan memang!

mungkin sekarang aku mulai menciptakan sebuah pemahaman atas wejangan-wejangan ibu-bapak. barangkali hidup memang persaingan ketat, dimana orang-orang berusaha saling sikut dan sikat. makin besar aku tidak selalu makin dewasa. justru keinginan untuk bertingkah seperti bocah yang apa-apa serba sah kian sering muncul, dan aku kelepasan, kadang-kadang. jadi rewel dan manja. ooh, tapi gapapa, kan, namanya juga manusia? membela diri sungguh menyenangkan. siapa lagi yang akan melakukannya kalau bukan kita sendiri? makin besar harus makin dewasa dan mandiri.

aku harus belajar untuk lebih legawa dengan diri sendiri, agar tidak ada yang menyeretku ke pinggir sungai lagi untuk memarah-marahi. memiliki persepsi baru terhadap sesuatu itu boleh-boleh saja, kok. Toh di psikologi komunikasi dijelaskan bahwa persepsi memang dinamis. aku harus jadi lebih egois sedikit, juga lebih peduli sedikit. bersyukur itu lebih dari sekedar mengucapkan terima kasihㅡmenerima dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, juga terus menjalani kontrak-kontrak yang telah kutandatangani sebagai bentuk pertanggungjawaban. kamu juga begitu, seharusnya. tapi mari tidak banyak menuntut sebelum berkaca.

semoga huruf yang serba kecil iniㅡsebagai representasi ketidakpercayaan diriㅡsuatu saat nanti tahu caranya menempatkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar