Kamis, 28 September 2017

Kamu Tidak Boleh Jadi Pengrajin Boneka Kayu

Kali ini dongeng harus tetap digaungkan. Kamu tidak boleh diam saja, lalu marah-marah pada tetangga, lalu nggondok, dan cuma jadi pengrajin boneka kayu saja.

Tadi Keke menegurku. Gara-gara aku bisik-bisik, tapi enggan angkat tangan. Aku maunya angkat kaki, tapi butuh asupan ilmu dan memastikan jatah bolos aman untuk kegiatan mendesak pada minggu-minggu yang akan datang.

Untuk orang seperti Chikma yang bisa tidur di mana saja, setiap tempat adalah bahaya, bahkan kursi meja belajar di kamar. Chikma bisa tertidur sewaktu-waktu, kemudian lupa waktu. Tiba-tiba sudah masuk waktu ibadah pagi. Kursi adalah ancaman untuk tugas-tugas yang menarik-narik ujung selimutku, tapi aku bisa tidur tanpa selimut. Ternyata menjadi tidak takut lebih menakutkan daripada ketakutan. Kadang juga perasaan terancam bisa tiba-tiba muncul setelah perasaan akan ketiadaan ancaman menjadi suatu hal yang lumrah, tapi tidak baik dilumrahkan.

Kadang aku mencium aromamu di lorong kampus, di parkiran motor, di kamar, di tempat-tempat yang kamu tidak pernah singgah. Kadang juga aku menemukanmu di langit-langit kamar, di langit-langit mulut, di pangkal tenggorokan, di lambung, dan di atas nakas, kamu dapat kutemui dengan salam-salam menjuntai yang kurangkai di ujung pintu, agar aku merasa pulang setiap kali pulang.

Kamu tidak boleh jadi pengrajin boneka kayu. Kamu harus tetap mendongeng meski cerita telah habis dituangkan ke dalam cangkir yang menua di sela jemari kita.

Aku mengingau. Tapi tidak apa-apa. Kamu tidak bisa selamanya cuma merangkai salam-salam di ujung pintu, atau berbicara pada cangkir-cangkir teh yang telah kosong separuh, atau dua per tiga.

Kamu sungguh tidak boleh jadi pengrajin boneka kayu. Saja.



"Halo, selamat malam,"

"Siapa tadi namanya?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar