Kamis, 26 Agustus 2021

Matahari Itu Cukup Satu, Tapi Tidak Selamanya

Aku ingin menjual matahari. Di sini, kami tak punya malam hari. Waktu kami hanya siang, sore, dan pagi. Kami sendiriㅡmandiriㅡdan kehilangan jati diri. Kami tak kenal lelah tak tahu lemah. Keduanya, dan marah, adalah menu makan siang yang kami sehari-hari telan sampai muntah.

Aku ingin menghambur-hamburkan matahari. Ruang kami silau, lalu keluar dan menyadari Ahmad Yani selengang pagi di Hari Raya Idul Fitri. Kami sibuk memoles data orang mati dan menggula-i stok oksigen yang jauh dari memadai.

Di suatu siang, kami lapar dan memutuskan keluar. Hari masih terang, tapi fastfood andalanku telah mati nyala kuningnya tiga jam lalu. Cuma segelintir tahu telor dan nasgor yang punya nyali menguji peruntungan di gang-gang kosan, sementara baliho dan papan iklan berslogan tak relevan milik yang berkepentingan memenuhi sepanjang jalanku mencari terang bulan.

Kadang kami heran, kami ini sedang apa? Katanya atas nama kesejahteraan, namun lapangan kami hiasi kembang-kembangan. Di banyak sore, sering kami bertanya-tanya, sampai kapan perut-perut yang lapar kami paksa kenyang dengan pelatihan pemasaran digital yang bermegah-megahan? Sementara kisah nabi-nabi dan sate usus Cak Di tak bisa kami temui di storepedia ataupun syopi.

Aku ingin mendonasikan matahari. Kami rindu malam yang bukan bakso dan sungguh-sungguh ingin menikmati gelap dengan lelap. Kami takut mati, tapi matinya satu empati telah menggerogoti sehatnya akal dan jiwa kami. 

Aku ingin berhenti jadi matahari dan mau jadi bintang yang lain saja. Aku ingin berhenti ingin jadi matahari dan tidak apa-apa jadi bintang yang agak pudar sinarnya. Aku ingin berhenti terobsesi jadi apa yang kamu minta, sedang semua sinar yang kutawarkan tak pernah cukup hangatnya. 

Aku bukan matahariㅡdan bukan pula yang sinarnya paling terang di bumi. Aku bintang kecilㅡdan aku matahari, untuk bumi yang bukan kamu pijaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar