Jumat, 04 Juni 2021

Menghitung Tabungan dan Hutang-Hutang di Kilometer Dela-pan

Surabaya basah. Bank Rakyat Indonesia, di Basrah, megah.

Surabaya basah. Kami baru saja melewati perempatan Pandegiling, Pagi-pagi, biasanya kita berkejaran dengan mentari, antri dan terkantuk helm di rem yang kamu tarik tergesa. "Pecel polos aja, dua ya!"

Aku menatap rintik yang naik-naik dihempas angin dari dashboard Innova. Kami larut tapi tak tenggelam, kami siaga dan waspada, seperti bersiap disemprit pak polisi dari karapan sapi yang tahu kami hanya bersandiwara.

Aku menengok kiri dan melempar pandang ke gedung-gedung yang berlari kencang meninggalkan kami. Basrah padat tapi ia konstan di lima-puluhan. Di jendela, siluet tangannya berakhir di leherku. Kapan ya terakhir kami berbicara? Sepi bukan kami, ada yang ramai di buku-buku jari kami, dan di ujung bibir yang mengelupas kering didera tuarang kata-kata.

Aku teringat angka-angka di buku tabungan, cerita-cerita yang kita simpan dan susun sedemikian hingga kita lupa ini buku yang keberapa? Dulu kita bercita-cita untuk pulang ke dekat rel mati Stasiun Gubeng Surabaya. Es teler pak No sepelemparan jauhnya, kita bisa sewaktu-waktu mampir membeli es campur dan duduk berlama-lama di sana, menabung lebih banyak untuk bekal hari tua.

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA

Lucu, ya? Haha. Sebentar, hha, lucu sekali.

Kadang terbesit untuk menagih daftar hutang-hutangmu yang belum sempat terbayar, tapi sekarang ia telah lapuk dilarung bandang. Aku juga ingin melunasi bon-bon yang kamu tumpuk di meja kerja, yang barangkali kini telah usang. Seperti jahitan celana kondanganmu yang kepanjangan, yang kutisik rapi-rapi dan kusembunyikan, yang sedetik modyar waktu kamu tersandung paving parkiran. "Sialan!"


Adakah kamu mencari-cari lembar yang terendam hujan Februari? Waktu itu sela jemarimu masih lengang dan di sana aku bebas berpetualang. Kamu yang gemar membaca garis tangan dan aku yang pura-pura enggan, "Dih, aneh sekali," namun malu-ragu mengulurkan lengan. Kamu menerawang masaㅡaku terbawa.

Pernahkah kamu ingin melamunkan musim jadi kunang-kunang? Ketika hutan tempat biasa kita berburu dijemput malam, penghujan dan kemarau menari membisik-bisiki masa. Kala pelarian yang sembrono ini mengantar kita ke bibir sungai tanpa jembatan, "Maukah kamu berenang saja?" Untuk selamanya, musim-musim menyala dan kita tak pernah merasa kekuranganㅡsementara.


Kami melambat di Embong Malang, memberi ruang bagi penyeberang. Aku menerawang, daftar hutang-hutangku yang demi satu-satu andai tanggal. Sewaktu-waktu kami melaju, memantik kembang api di balik mantel mencari kehangatan. Bolehkah kusimpan nyala ini selagi ada?

Di suatu pagi yang belum genap, aku pernah bercanda mencorat-coret wajah punggungnya. Sejenak ia pandangi merah yang menetes di pahanya dan biru yang tumpah di kemeja kerjanya. Matanya menelusur, kuning dan ungu yang berhambur. Aku siap dilalap marah; baik, aku salah. Tapi ia mengulurkan empat ibu jari, katanya ia akan memberiku lebih, andai punya. Kini, aku ingin melukisinya sampai mual. 

Pernah pula di malam yang ganjil ia bercerita, bagaimana jika drama ini kami hidupi saja? Aku tertawa. Dua aktor tak boleh jatuh cinta, kami telah menandatanganinya. Ia pangeran semalam dan yang ia tahu aku bukan Cinderella. Kami meromantisasi yang tak ada, uh, bolehkah kami mewujudkannya?

Aku sering keliru sangka. Di ia yang belum-belum menjadi sudah, sehingga aku lupa sebenarnya kami ini apa? Singgah di dekat rel kereta menikmati es Pak No dan menyeruput kuah bakso, ia bisa jadi apa saja dan menawarkan rupa-rupa. "Berapa semuanya?" pernah aku bertanya, ia bilang "kamu jadi baskara,". Itu saja. Tapi aku cuma bohlam untuk beberapa sorenya, aku tak suka pada esok yang tiada.

Sebagaimana kita, kami menghitung mundur selamat jalan. Andai bisa, aku ingin sekali menikmati sipu-sipu malu dan haru-haru waktu aku leluasa menghambur di lengannya. Aku mau pura-pura tak tahu biar kukira episode terakhir belum diketuk harinya. Tawari aku dua gelas susu dan katakan saja itu teh madu, dengan senang hati kutenggak bohongnya hingga tak bersisa.


Di Surabaya, aku juga mau jatuh cinta, dan bisa. Tapi Surabaya tak bermusim, hujan rintik telah reda dan kini kami telah sampai di Juanda. Jika ada rasa yang berdesir mengikir-ngikir akal sehat, kupastikan ia berangkat bersama kotak-kotak cerita yang kuikat erat-erat. Bila sewaktu-waktu ikatnya lepas, biar kisahnya berhambur dan kujumput kala kelana.

Kini saatnya mengambil alih kemudi. Seperti meteran bahan bakar di Pertamina, "mulai dari nol, ya," aku kembali mengembara, dan akan aku temui kamu-ia yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar