Senin, 04 Desember 2017

Tukar Bangku

Aku ngambek, dan masih merengut setelah tiket masuk teater dua sudah berpindah dari tangan mbak-mbak berseragam di balik meja marmer ke tanganku, padahal bukan aku yang bayar.

"Sudah, mau kemana?"

Kalau di film, intonasinya pasti manis sekali, dengan bumbu-bumbu sabar dan senyum tipis ditebar. Tapi aku makin kesal, memilih menengok kanan-kiri, pura-pura tidak dengar, lalu seenak jidat melenggang menuju sofa kosong di ruangan. Kami tahu tidak mungkin duduk di sini sampai pintu teater dibuka dan penonton yang telah memiliki karcis dipersilakan memasuki teater. Jadi pertanyaan itu terlontar lagi,

"Mau kemana?"

Rasanya aku ingin menenggelamkan kepala orang di sofa bioskop yang tidak lebih empuk daripada sofa butut villa 1.3 juta di Trawas, lalu gulung-gulung di karpet hijau yang sampai sekarang aku masih wondering, itu pernah di-laundry nggak ya? Jangan triggered ya yang kerja di sana, aku beneran kepo.

Kami masih harus menunaikan 4-3 petang dan menyambut malam, lalu masih harus menunggu lagi sembilan puluh menit. Prioritas doi pulang cepat dan kami saling melempar terserah karena sama-sama malas berdebat. Tapi aku pasang wajah bete kalau ditawari tiket 16.45.

Aku memandangi tiket teater dua, menarik napas panjang, lalu memilih memejamkan mataㅡmerasa bersalah, bukannya terima kasih malah ngambek, lama lagi ngambeknya. Tiba-tiba angka dua yang cetakannya pudar itu tampak bergoyang-goyang, aku menyipitkan mata, kukira salah mataku, ternyata tidak. Angka dua itu mencuat, lalu terbang. Saat aku mendongak, aku masuk pada jendela obrolan di laptop Acer tua yang tebalnya hampir tiga centi, yang untuk tekan enter saja harus menunggu setengah menit.

Ada bola biru garis-garis di ruangan yang tidak ada ujungnya ini selain pesan terakhir dan angka penunjuk waktu tanpa topi telah dibaca. Aku ada di ujung yang lain, meski tidak ada ujung selain kotak layar yang membatasimu untuk melihat secara utuh paduan daftar obrolan. Aku adalah bola hijau jealous seperti warna sebuah festival-film-yang-aku-pernah-tahu. Dia menggelinding pelan, dan aku balas menggelinding, kaki kami saling bersentuhan, lalu seperti tersetrum, kami jadi pasangan yang sempurna untuk teman ngopi pahit di hujan rintik-rintik yang terlalu reda untuk hujan-hujanan tapi terlalu deras untuk diterabas, jealous ft. kesedihan.

"Aku ingin liburan keluarga!" Seperti sebuah judul-film-pendek-yang-pernah-kita-tahu.

Aku tersenyum tipis, sibuk membolak-balik katalog. Tapi mungkin aku buruk dalam menyortir, juga dalam membuat kategori-kategori yang cukup spesifik. Aku tidak bisa menemukannya dalam folder Baru, Belajar, Menghibur, juga Unknown. Kamu menunggu jawaban, aku masih memilah. Tunggu dulu! Tunggu sebentar! Aku akan mencarinya di My Computer karena aku lupa dimana menaruhnya. Duh, maaf aku gletak-gletek. Pencariannya akan sedikit lama.

Sambil menunggu, aku mengajakmu ke parkiran. Kita ngobrol dulu, dan aku akan buat pengakuan. Aku ingin bilang pada ibu dan ayah, "Ayo liburan bareng." Tapi itu ide buruk. Karena yang baik cuma angan-angan aku, kamu, dia, dan mereka. 

File yang kucari sudah ketemu. Isinya tidak memuaskan, aku urung memberikannya kepadamu. Aku tersenyum kecut sambil menarik pelan kotak di tanganku. Air mukamu berubah kecewa. Angka dua terbang kembali ke tiket teater duaku. Adzan berkumandang di luar gedung bioskopㅡyang tentu kami tidak dengar. Aku mengajaknya pergi ke musala. Tidak ada yang enak di dunia ini, selain kita tahu cara menikmatinya.

Sabtu, 18 November 2017

Rabu, 15 November 2017

Pendatang

Kita kebingungan dan bertanya-tanya.

"Aku baik-baik saja," katamu. Lalu tiba-tiba kamu marahㅡmembanting pintu, melempar barang, menendang kursi, menggebrak meja.

"Ada apa?" Aku bertanya, menarik napas, menghembuskannya, menarik napas lagi, kemudian menghembuskannya, dan mengulangi dengan tempo teratur.

Kamu selalu grusa-grusu dalam mengambil keputusan. Kamu bisa senang, puas, marah-marah, menghambur, lalu menangis. Dan aku akan selalu jadi bahu yang tidak dapat kamu raih, tapi selalu kamu singgahi kapan saja kamu butuh, atau mau. Kita bisa menghabiskan hari hanya dengan berbagi diam, saling bersandar tanpa bahu, berpeluk tanpa lengan, dan menggenggam lewat tatapan.

"Ada apa?" Aku bertanya sekali lagi, menarik napas sekali lagi, menghembuskannya sekali lagi, menarik napas lagi sekali lagi, kemudian menghembuskannya sekali lagi, dan mengulangi lagi sekali lagi, dan sekali lagi, mengulangi.

"Ada apa?" Kali ini, bukan kita yang berbicara. Kemudian kita kebingungan, dan bertanya-tanya.

Kita saling tatap, dan terngiang suara kita, siapa lagi kali ini?

Di pintu kamar yang terbuka setengah, kita melihat seorang dengan rambut cokelat setengah pirang yang dikepang, dengan tas punggung kuning berukuran sedang, dan sekotak bekal roti panggang.

Kita saling tatap, kali ini bertiga, kenapa kita mirip sekali, ya? Aku mendengar tiga suara berbeda yang sama.

Selasa, 31 Oktober 2017

Macet 3 Jam Kampus-Lenmarc

Maaf, ya, aku cuma bisa metik bintang, belum bisa ambilkan bulan. Meski tidak terang, tapi cahayanya tenang, semoga membantumu tidur lelap malam ini, juga malam-malam yang akan datang. Semoga juga bisa memberikanmu perlindungan dan menjawab semua tantangan.

Terima kasih untuk mas-mas baik hati yang membantu membukakan tangki bensin setahun yang lalu. Terima kasih juga untuk mas-mas baik hati dengan motor bernopol L 5**4 CT yang membantu mengeluarkan motor kemarin sore. Terima kasih juga untuk mas-mas penjual terang bulan malam ini yang menyelamatkanku dari kelaparan dan pulang kemalaman karena motor udah rewel minta diservis.

Terima kasih untuk Dj., Marie, dan Nanta yang dengan baik hatinya selalu mem-bully dengan sayang. Kalian masuk list teman paling ridiculous-ku. Terima kasih, ya Allah. Semoga kita semua dimudahkan oleh-Nya.

Senin, 30 Oktober 2017

Menyambut Musim Hujan yang Penuh dengan Bunga

Mendengarkan Pelangiku-nya Sherina sampai sukses.

Maafkan Chikma, sungguh. Chikma tidak berbohong. Chikma juga tidak marah. Chikma hanya sedang diam saja. Chikma malas uring-uringan. Chikma cuma ingin ini itu banyak sekali, tapi Chikma bukan Nobita yang punya Doraemon.

Chikma ingin baling-baling bambu, bagaimana kalau baling-baling jati? Banyak orang Indonesia yang suka perabot berbahan jati. Chikma ingin terbang bebas di angkasa, tapi takut merasa besar. Nanti lupa siapa Chikma.

Chikma ingin kita baik-baik saja meski titik-titik hujan masih membasahi kala kau menyapa. Chikma ingin dibisiki kisah yang lucu, dinyanyikan lagu merdumu, merah kuning jingga dan ungu.

Chikma rindu pelangi yang datang lagi dan dibawa pergi. Chikma selalu suka musim hujan yang berbunyi tik-tik-tik di atas genting. Chikma juga suka menengok keluar jendela, melihat pohon dan kebun basah semua.

Chikma rindu sekali pada musim-musim yang lalu, tapi Chikma mudah lupa. Kabar baik untuk cerita-cerita seram dan tidak menyenangkan, kabar buruk untuk ingatan-ingatan yang susah payah kusimpan dan kurapikan. Apakah joy, sadness, anger, disgust, dan fear Chikma pernah bertengkar? Apakah terlalu banyak long term memory yang dibuang oleh petugas-petugas kecil? Apakah island of personality Chikma pernah runtuh? Chikma bertanya-tanya.

Rabu, 18 Oktober 2017

Selamat Bertambah Tua, Rumah Lama

Terima kasih. Meskipun saya benci mengakui kenyataan bahwa saya pernah dirawat dan dibesarkan. Bahwa saya harus legowo dan nrimo, tapi tidak putus asa.

Saya sungguh berterima kasih. Atas hari-hari yang mencekik sehingga saya merasa benci pada sekolah, kelas, mata pelajaran, teater, dan semua hal yang menurut saya harusnya menjadi masa-masa paling berkesan.

Rumah tidak salah. Ia memang tempat kembali meski rumah bukanlah ruang dimana kepala selalu menemukan sandarannya, atau kotak tempat menaruh segala resahㅡsebab boleh jadi rumah adalah salah satu sebab resah paling berkepanjangan. 

Kemudian saya menyadari bahwa ternyata di rumahlah resah bisa tumpah, tangis dapat pecah, marah menjadi sah, dan rindu selalu berbalas. Bahwa pelukan paling hangat memang hadir dari orang yang seringkali sulit untuk diucapkan maaf, terima kasih, dan sayang. Bahwa realita yang sulit saya terima adalah seluruh waktu, tenaga, materi, dan mental yang dibaja-bajakan ini telah melalui serangkaian tempaan yang menjadikan saya sebagai saya yang seperti ini, yang seperti sekarang ini. Bahwa definisi rumah buat saya seringkali meleset dari apa yang dikonstruksikan media dan masyarakat. Bahwa bagi saya, rumah adalah tempat yang sering ingin saya tinggalkan dengan berbagai alasan. Bahwa rumah adalah institusi paling kejam, lebih-lebih saat saya diseret secara paksa keluar dari zona nyaman, padahal katanya rumah adalah tempat paling nyaman.

Tapi rumah tetap tempat berpulang. Atau setidak-tidaknya, ia pantas mendapat penghormatan. Terlebih ketika saya mulai paham bahwa rumah saya bukannya tidak normal jika dijajarkan dengan rumah-rumah tetangga yang rumputnya selalu lebih hijau menurut peribahasa. Rumah saya hanya memiliki caranya sendiri untuk membesarkan saya. Bahwa mungkin caranya bukanlah yang terbaik menurut saya, tapi paling efektif untuk membangun saya. Bahwa untuk capaian yang besar, saya memang harus siap dihantam proses yang besar pula.

Saya masih saya yang pendiam. Saya masihlah saya yang sulit beradaptasi dengan hal-hal baru. Saya masihlah saya yang sulit menerima perubahan. Saya masihlah saya yang temperamen, pendendam, penuh ketidakpercayaan, dan ceroboh dalam mengambil keputusan. Saya masih benci berbicara di depan banyak orang, masih benci pada kerumunan, masih benci ketika harus memimpin karena ketidakmampuan saya. Tapi setidak-tidaknya saya telah menjadi saya yang masih dari saya yang sangat. Dan saya masih harus siap ditempa di rumah lainnya jika saya masih berkeinginan untuk menjadi saya yang tidak dari saya yang masih.

Suatu ketika, saya dihadapkan pada keadaan yang di luar perkiraan saya, saat saya rasa semuanya sudah cukup di luar apa yang saya perkirakan. Saya panik. Dan itu adalah serangan paling mendadak nomor dua setelah yang pertama ketika menjadi moderator pengganti saat pemutaran reguler. Terima kasih untuk Marie yang menenangkan saya, juga Izal yang merelakan lengannya jadi tempat pereda seluruh kekhawatiran saya, meyakinkan bahwa saya tidak apa-apa. Meski beberapa saat setelahnya saya sesenggukan di paha Dj.. Siang itu Dj. marah dan saya paham ia marah sungguhan dan tidak. Kami tertawa. Saya juga. Saya cuma bisa tertawa. Dj. kesal. Saya masih tertawa. Dj. ngedumel. Saya masih tertawa. Saya dan rasa insecurity yang siang itu menjelmakan diri sebagai kaca-kaca yang saya usap bersama tawa sedih campur malu campur keinginan saya untuk ditelan karpet ruang Rocs saat itu juga.

Saya masih harus banyak dipukul dan dihantam dan dibiarkan remuk, jatuh, patah, luka. Agar kemudian saya bisa merdeka dari diri saya sendiri.

Terima kasih. Semoga saya mampu menjadi yang suci dalam pikiran, benar jika berkata, tepat dalam tindakan, dan dapat dipercaya seperti bait-bait yang sama-sama kita hafal di luar kepala.




ps. terima kasih juga telah mengajarkan saya bahwa yang terbaik belum tentu yang terbaik :)

Minggu, 15 Oktober 2017

Terima kasih hari-hari yang membuat saya semakin destruktif.

Saya kembali mendengarkan lagu-lagu Korea hanya agar saya bisa misuh-misuh tanpa ditapuk. Karena misuh dalam bahasa Inggris tidak cukup aman. Gamsahamnida.

Saya makin merepresentasikan perempuan dalam lirik Kunto Aji yang "ingin sendiri tapi harus ditemani". Terima kasih Instagram, saya sedang ingin sendiri tapi masih kepo orang-orang sedang apa. Terima kasih Line, saya sedang ingin sendiri tapi masih mau koar-koar pada seisi dunia kalau saya ingin sendiri dan ingin ditemani sebatas ini sajaㅡjangan benar-benar datang.

Terima kasih lagu-lagu Korea yang masih setia saya jejalkan melalui headset dengan volume di atas wajar ini. Terima kasih headset Samsung, saya bisa tetap melampiaskan emosi tanpa membuat orang-orang makin berang dengan saya andai tidak ada teknologi canggih bin solutif bernama headset ini.

Terima kasih Blogger yang telah memberi saya laman untuk mengumpat dan bersyukur pada satu waktu.

Kamis, 28 September 2017

Kamu Tidak Boleh Jadi Pengrajin Boneka Kayu

Kali ini dongeng harus tetap digaungkan. Kamu tidak boleh diam saja, lalu marah-marah pada tetangga, lalu nggondok, dan cuma jadi pengrajin boneka kayu saja.

Tadi Keke menegurku. Gara-gara aku bisik-bisik, tapi enggan angkat tangan. Aku maunya angkat kaki, tapi butuh asupan ilmu dan memastikan jatah bolos aman untuk kegiatan mendesak pada minggu-minggu yang akan datang.

Untuk orang seperti Chikma yang bisa tidur di mana saja, setiap tempat adalah bahaya, bahkan kursi meja belajar di kamar. Chikma bisa tertidur sewaktu-waktu, kemudian lupa waktu. Tiba-tiba sudah masuk waktu ibadah pagi. Kursi adalah ancaman untuk tugas-tugas yang menarik-narik ujung selimutku, tapi aku bisa tidur tanpa selimut. Ternyata menjadi tidak takut lebih menakutkan daripada ketakutan. Kadang juga perasaan terancam bisa tiba-tiba muncul setelah perasaan akan ketiadaan ancaman menjadi suatu hal yang lumrah, tapi tidak baik dilumrahkan.

Kadang aku mencium aromamu di lorong kampus, di parkiran motor, di kamar, di tempat-tempat yang kamu tidak pernah singgah. Kadang juga aku menemukanmu di langit-langit kamar, di langit-langit mulut, di pangkal tenggorokan, di lambung, dan di atas nakas, kamu dapat kutemui dengan salam-salam menjuntai yang kurangkai di ujung pintu, agar aku merasa pulang setiap kali pulang.

Kamu tidak boleh jadi pengrajin boneka kayu. Kamu harus tetap mendongeng meski cerita telah habis dituangkan ke dalam cangkir yang menua di sela jemari kita.

Aku mengingau. Tapi tidak apa-apa. Kamu tidak bisa selamanya cuma merangkai salam-salam di ujung pintu, atau berbicara pada cangkir-cangkir teh yang telah kosong separuh, atau dua per tiga.

Kamu sungguh tidak boleh jadi pengrajin boneka kayu. Saja.



"Halo, selamat malam,"

"Siapa tadi namanya?"

Rabu, 13 September 2017

Donald Bebek Maju Satu Langkah Mundur Tiga Langkah

Kalo kata Kunto di Move On Trip, "Manusia mana yang suka dicuekin?"

Rasanya ingin marah-marah saat tahu ternyata saya ditinggalkan atau dibiarkan sendirian, saat sedang butuh-butuhnya. Saya jadi bertanya-tanya, jangan-jangan selama ini hubungan kami memang cuma selalu sebatas ini dan itu? Memang sih. Haha.

"Harusnya kamu itu seperti ini! Harusnya kamu seperti itu! Masa iya, kami kamu tinggal-tinggal terus? Kalau nanti gagal, siapa yang mau tanggung jawab? Memangnya kamu mau?"

Kemudian saya tertampar. "Ya kamu, kan, juga harus bertanggung jawab!"

Ya benar, sih. Lha wong saya ya ada di sini, terlepas dari dibutuhkan atau tidak.

Padahal dulu sudah janji nggak akan pergi-pergi, tapi sulit sekali untuk tidak menaruh atensi pada prucil-prucil menggemaskan di sekitar sini. Saya ingin terlibat di sana, di sini, di mana-mana. Padahal sudah janji untuk mengerjakan yang ini atau itu saja, yang penting sungguh-sungguh. Dan saya sungguh-sungguh harus menahan diri saat ini. Mengiyakan mudah, konsisten yang susah.

Mungkin sebelum marah-marah saya harus menegur diri sendiri dulu.

Kamu tidak akan ditampar andai kamu tidak pernah menampar.

Andai saya tidak pergi setengah langkah kemarin, mungkin saya tidak akan ditinggalkan dua langkah hari ini. Atau malah sebaliknya. Andai saya tidak manja dan selalu minta dimengerti, andai saya mau mengerti bahwa setiap orang punya prioritas dan kesibukannya masing-masing, andai saya juga mau melakoni dengan ikhlas saja selagi bisa tanpa banyak protes dan teriak-teriak, saya mungkin tidak perlu merasa ingin marah-marah. Bukan agar suatu saat nanti akan ada orang yang mau mengerti bahwa saya juga punya prioritas dan kesibukan sendiri, tapi barangkali suatu saat nanti saya memang membutuhkan orang yang ikhlas dan mau mengerti, tanpa banyak protes dan teriak-teriak.

Saya tidak mau menampar, dengan harapan agar saya tidak ditampar, meski ada kemungkinan untuk tertampar. Mungkin tamparan adalah bagian dari teguran. Dan saya tidak perlu marah, harusnya bersyukur malah. Supaya saya nggak kebablasan.

Ingatkan saya untuk membeli cermin bulan depan.

Minggu, 10 September 2017

Senin, 07 Agustus 2017

Bersabar

Malam ini purnama
Semoga kamuku ada
Dan kita bisa berbincang semalaman
Sebelum aku harus menanti lagi
Sebulan

Sabtu, 05 Agustus 2017

Ingin Berhenti di Dilarang Berhenti

Dia mati. Lalu pagi ini tiba-tiba sepi. Padahal sekarang sudah malam. Harusnya ini diposting tadi pagi.

Ibu minta dibuatkan surat arisan. Tapi Chikem bandel seperti noda yang baru hilang kalau dibasmi rinso setelah 33x kucek diiringi istighfar jangan diselingi umpatan.

Buka laptop, malah buka browser. Lalu tersasar di laman biasanya. Dia lagi, dia lagi. Tapi tetep dibaleni lain hari. Scroll scroll. Ada tautan. Klik. Menyasarkan diri ke tempat yang sudah lama tidak dihampiri.

Tiba-tiba pagi ini nggak jadi sepi. Jadi sedih.

Dasar Chikem. Kalo nggak "lucu" "sedih" ya "gapapa". Sempit sekali kayak rok span paduan suara.

Lucu ya. (Tuhkan.) Mungkin aku terlalu tidak peduli dengan sekitar, ya? Atau aku memang sibuk memedulikan diriku sendiri? Apa bedanya? Beda, sih. Tapi malas menjelaskan. Terserah kamu memaknainya seperti apa.

Kadang hal-hal tidak sesuai seperti yang kuduga karena memang aku bukan cenayang (oh, tentu saja). Dan...kok aku kecewa? Padahal harusnya biasa saja. Toh itu tidak mengejutkan amat.

Harusnya aku lebih bisa biasa saja seperti saat tahu ternyata dia seperti konyaku. Terduga tapi tidak juga. Masih punya efek kejut meskipun ya...tidak juga.

Aku merasa seperti baru saja kehilangan jejak, lalu menemukannya saat aku belum siap. Padahal sudah disiapkan.

Tiba-tiba saja aku merasa insecure. Lagi. Dan aku ingin lari-lari keliling kompleks tanpa perlu ketatap tiang tanda dilarang berhenti.

Rabu, 12 Juli 2017

Jana, Pani, Yaudahlah

Jana sudah. Aku menyuapinya serampangan, setengah sadar, semalaman. Pokoknya kamu kenyang. Dan bersih. Dan rapi. Nggak belepotan. Pokoknya kamu kenyang, tenang, aku senang, meskipun nggak terlalu tenang. Gimana kalo nanti kamu sakit? Batuk-batuk, misalnya. Atau meler. Tapi masih bagus. Gimana kalo nanti kamu kenapa-napa? Ya, salahku, sih, sebenarnya. Maumu apa coba. Kalimat terakhir tadi teguran untuk diri sendiri.

Pani tumben-tumbennya manja. Ia menarik-narik ujung cardiganku dan aku bingung harus bagaimana. Bentar, dong, sayang. Ada yang harus aku jenguk dulu.

Aku menjenguknya. Tapi dia sedang ngambek, sepertinya. Kami kayak orang musuhan, padahal aku merayunya mati-matian. Ingin kunyanyiin Rayuan Pulau Kelapa jadinya, tapi dia nggak suka lagu mendayu-dayu. Dia ingin lekas sembuh. Aku juga! Enak saja. Bukan aku tidak sayang, cuma kami tidak akur. Pinginnya bareng, tapi nggak juga.

Yaudalah ya. Terserah. Semoga Jana senang, juga sehat. Pani, sabar dulu, ya. Aku nggak menomorduakan kamu, cuma memang harusnya seperti itu. Dan kamu, yang aku bahkan tidak tahu panggilanmu, tolonglah berkompromi sekali saja. Aku juga tidak mau marahan terus denganmu.

Selasa, 11 Juli 2017

Lekas

Kali ini, lima hari rasanya seperti... duh, kapan berakhir ya?

Senin, 10 Juli 2017

Tentang Kamu dan Ketidakpahamanku

Anehnya, kamu seperti novel favorit semua umat. Dan aku, yang tak gemar-gemar amat membaca, tak bosan-bosannya mengulang; kata demi kata; frasa demi frasa. Selagi orang-orang beranjak, sibuk mencari kamu yang baru, aku masih di sini; membacamu sekali lagi dan sekali lagi; aku selalu mendefinisikanmu baru; dan aku akan mundur, kembali sekali lagi.

Jumat, 07 Juli 2017

Tentang Menyelamatimu

Tadi aku sudah cerita panjang lebar, tapi urung. Tentang kamu, Chandra, dan kekasih barumu. Hehehe, aku tidak patah hati, kok. Sungguh.

Akhirnya, ya, Ndra. Setelah tiga tahun.... Gila kamu. Lain kali cerita, dong, kalau kamu sedang naksir orang. Barangkali aku bisa membantumu tipis-tipis, kan? Aku turut senang, kok.

Akhirnya, ya, Ndra. Setelah direspon dua hari, diabaikan lima bulan, ditinggal dengan laki-laki lain setengah tahun, dijadikan tempat curhat dua minggu (sebuah progress, sih, daripada dua hari), ditinggal dengan laki-laki lain (lagi) satu tahun tujuh bulan.... Akhirnya, ya, Ndra. Akhirnya.... Gila kamu. Kenapa kamu nggak pernah cerita, sih, tentang dia? Kan, aku bisa membantumu berdoa. Aku turut senang, kok, sepertinya.

Akhirnya, ya, Ndra. Kamu sungguh harus berterima kasih pada UKM-mu. Kalau bukan berkat dia, mungkin saat ini kamu sedang frustasi mencari modus mampir ke fakultasnya yang terlalu jauh kalau berdalih 'pingin jalan-jalan aja'. Akhirnya, ya, Ndra. Akhirnya.... Gila kamu. Gila aku. Aku turut senang, seharusnya. Tapi, ternyata aku patah juga hehehe.  

Selamat, ya, Ndra. Semoga kita semua bahagia.

Minggu, 25 Juni 2017

Pengantar 'Tentang Mas Itu'

Iya. Sebelumnya aku mau mengucapkan taqobalallahu minna wa minkum. Semoga Chikma bisa memaafkan Chikma yang ini dan selama ini.

Ada yang belum Chikma kemarin penuhi selama Ramadan. Dan Chikma yang hari ini ingin meminta maaf kepada Chikma nanti (dan mungkin besok) atas bertambahnya hutang yang harus dibayar dan diselesaikan. Chikma yang kemarin berdalih sibuk.

"Halah, sibuk apa tidak menyempatkan?" Chikma hari ini mencibir kesal, e tapi ya agak menyesal.

Agak terpelatuq waktu Faiz bilang, "the long awaited kisah mas *sensorduluagartidakspoiler* akhirnya belum selesai sampai lebaran, ya? hahaha"

Duh, padahal banyak sekali yang mau kuceritakan tentang doi. Sebenernya saking banyaknya itu, sih, jadi nggak selesai-selesai. Alibi, sikat.

Chikma yang hari ini tidak bisa janji menyelesaikan 'Tentang Mas Itu' karena Chikma nanti dan Chikma besok yang harus bertanggung jawab. Maafkan Chikma hari ini juga kalau gitu. Ternyata Chikma yang hari ini belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Semoga di hari kemenangan ini, Chikma nanti dan Chikma besok bisa semakin hebat meski bahu rasanya makin berat. Semoga kamu nanti dan kamu besok juga gitu. Hehe.

Kamis, 22 Juni 2017

Tanaman yang Tumbuh di Dekat Selokan Itu Kini Sudah Mati

Kadang aku menampik kenyataan bahwa yang berlalu bisa berubah sewaktu-waktu. Bahkan jarum jam tanganku yang baterainya habis saja bisa berpindah tau-tau. Aku juga nggak ngeh gimana, mungkin masih ada energi yang tersisa. Mungkin juga cangkir yang dulu penuh setengah itu sekarang sudah kosong separuh.
 
Sama, tapi beda.
 
Halah, makna kan terletak pada komunikan. Lah, kemudian, pertanyaannya berubah jadi, "Memangnya kamu apa? Bukannya partisipan?" Iya, aku sendiri bingung, nulis sambil mbaca, enkoding sambil dekoding. Komunikasi intrapersonal gitu ceritanya?
 
Materi bu Moer stuck banget di kepala. Mungkin karena teorinya terjadi berkali-kali-kali-kali dalam sehari. Rasanya kayak praktikum sampai tuwuk gitu barangkali.

Tugas kuliah selalu jadi korban tiap mampir kemari. Gimana, ya. Kangen. Kapan lagi, kan, ngobrol kayak gini?

Alibi aja. Padahal kapan-kapan juga bisa.

Sulit Rasanya Bicara Ketika Kamu Sedang Terjungkal dan Tidak Ada yang Menolong Meski Orang-orang Melihat

Aku benci Chandra (bohong)
Ternyata aku lebih benci kamu (jujur)
Ternyata aku masih benci diriku sendiri.

Minggu, 07 Mei 2017

Tentang Kenapa Kamu

Ndra. Kenapa, sih, kamu terlahir sebagai manusia? Kenapa bukan kucing saja?


Supaya aku bebas mengagumimuㅡatau lebih dari ituㅡtanpa perlu memikirkan soal prinsip-prinsip kita yang terbentur di mana-mana. Soal keyakinan, misalnya. Atau soal aku yang tidak suka orang berkaca mata. Atau soal ibu yang tidak suka hanya karena orang tuamu tentara.
Bahkan itu bukan tentangmu, Ndra! Aduh....

Etapi, kalau pun kamu terlahir sebagai kucing, agaknya kita masih terbentur 1 prinsip lagiㅡmengabaikan bahwa kita tidak satu spesies.



Ibu, kan, nggak suka kucing, Ndra.

Tentang Panggilanmu

Oke. Mulai sekarang aku akan memanggilmu "Ndra". Chan terlalu lucu buat kamu.

Sabtu, 22 April 2017

Iya Kamu

Iya. Yaiya.

Iya kamu harus mau, dong, keluar dari zona nyamanmu. Eh, nggak harus, sih. Tapi ada baiknya iya. Lebih-lebih itu untuk kebaikanmu sendiri, bukan siapa-siapa. Meskipun, yaa, itu akan membawa dampak untuk orang-orang yang terlibat.

Dan iya kamu juga harus mau bertanggung jawab, dong, atas apa yang kamu putuskan sendiri. Kali ini memang harus. Kan, tidak ada yang memaksamu untuk bilang iya atau tidak. Meskipun, yaa, ada tendensi untuk mengiyakan. Tapi, kan, tetap saja, tidak ada paksaan dari siapa-siapa! Jangan mengkambinghitamkan siapa-siapa, lo ya.

Dan iya, kamu memang harusnya mulai menyadari beberapa hal, seperti, kamu tidak akan jadi apa-apa, atau siapa-siapa, dan tidak ke mana-mana, kalau masih mau seperti ini selamanya.

Dan iya kamu juga harus ingat untuk berdoa. Tidak harus, sih. Itu perkara keyakinanmu. Tapi ada baiknya iya. Semoga Tuhan menguatkan kita semua.

Kamis, 20 April 2017

51 Lembar

51 lembar itu mungkin berisi kebohongan, keharusan, dan keterpaksaanㅡyang entah kenapa tetap saja saya lakukan, dulu.

Dua tahun tujuh bulan, saya kesal, kemudian merasa jijik dan marah
setiap kali membacanya.

Dua menit tujuh detik, saya kesal, kemudian merasa marah dan terharu ketika membacanya pagi tadi.

Barangkali, 51 lembar itu bukanlah kebohongan, atau keharusan, atau keterpaksaan. Barangkali, 51 lembar itu adalah sebuah pesanㅡtentang saya di masa depanㅡyang dititipkan oleh Tuhan.

"Ini kamu, Tiara. Kalau kamu mau berusaha."

Jumat, 14 April 2017

Spaneng

Harusnya, kan, saya bisa mendoakan yang baik-baik. Kok malah spaneng sendiri.

Ya Allah, tolong bantu hamba-Mu ini menjaga hati.



Dan perkara dia yang pernah membuat saya tersandung sampai tersungkur, anggap saja waktu itu saya jalan setengah sadar di depan kakinya.

Rabu, 12 April 2017

Nanti

Kalau kamu lelah dan ingin marah-marah, coba deh lihat sekelilingmu.
Melelahkan, ya?
Tarik napas panjang, hembuskan.

Kalau kamu kesal dan ingin berhenti saja, coba deh ingat apa saja yang belum kamu selesaikan.
Banyak, ya?
Tarik napas panjang, hembuskan.

Kalau kamu jengah dan ingin berbalik arah, coba deh pejamkan mata, dan berhenti memikirkan semuanya sejenak.
Tarik napas panjang, hembuskan.
Diam saja dulu, sebentar,
atau agak lama, tidak apa-apa.

Agak lega sedikit, kan?

Lain kali, kalau kamu butuh bahu, datang saja. Kutemani kamu curhat pada-Nya lama-lama.

Kamis, 06 April 2017

Pengingat


Tanaman yang tumbuh subur di dekat selokan depan rumah itu mengingatkanku untuk berkaca.

Selasa, 28 Maret 2017

#5

Aku tiba-tiba buta huruf saat menulis pesan untuk kakakmu, Kirana.

Duh.

Selasa, 21 Maret 2017

Bulan Sepuluh

Aku mundur lagi hingga Oktober. Menjumput sepotong kisah yang bercecer di bawah penghujan. Dan untuk saat ini, aku ingin tinggal saja bersama bulan sepuluh. Bukan cuma demi lari dari tugas public speaking dan dasar jurnalistik besok. Aku cuma ingin dengar lagi. Kamu...bilang apa?

Minggu, 19 Maret 2017

Sebuah...Apa?

Aku mundur hingga Desember. Menunda-nunda tahun baru, demi...apa?

#4

Kirana, aku mau bilang sesuatu.

Oke. Aku tahu ini bukan saat yang tepat dan terkesan buru-buru. Mungkin kamu masih belum berbaikanㅡkalau tidak mau disebut bertengkarㅡdengan kakakmu. Dan mungkin ini juga tidak penting-penting amat buatmu.

Tapi kalau boleh jujur, aku mungkin sedang naksir kakakmu, Kirana. Entah sejak kapan. Yang baru aku tahu, tiga setengah tahun ini aku betah-betah saja sendiri, betah-betah saja mengingat hari-hari menyenangkan dan menyebalkan yang sudah kami lalui, lalu secara tidak sengaja membandingkannya dengan temanku yang lain.

Dan tada, aku baru sadar, ternyata rasa suka bisa sesederhana ini. Aku menyukainya dan semua yang dilakukannya, Kirana. Bahkan saat Chandra ketiduran di atas sweaterku dan ngiler di sana, aku tidak bisa kesal, malah tertawa kecilㅡututuu, gemasnyaaa.

Tapi bukan karena ilernya aku naksir dia, Kirana. Tepatnya aku juga tidak tahu kenapa. Cuma, ada satu hal yang sangat kuingat dengan baik tentang Chandra. Dia sangat-sangat-sangat-sangat sayaaang sekali dengan keluarganyaㅡtermasuk kamu, atau kalau boleh kuralat sedikit, terutama kamu. Chandra pernah bilang, dulu, waktu umurnya masih lima tahun, ia ingin punya adik perempuan dan bisa jadi jagoan untuk adiknya. Duh, gemas nggak, sih?

Dan yah, mengingat semua hal yang selalu dia ceritakan tentang kamu, semua hal yang dia lakukan untuk kamu, kukira, kamu bisa menyimpulkan sendiri bagaimana perasaan Chandra untuk kamu. Aku tidak memaksamu berbaikan atau buru-buru memaafkan. Aku cuma mau berpesan, kalau kesal yang sedang kamu rasakan, mungkin bisa hilang dengan satu jabat tangan atau sebuah pelukan.

Salam peluk untuk Kirana /hughug/



ps. Perkara aku yang lupa nama kakakmu, tolong abaikan saja, ya. Aku tahu itu kedengaran nggak masuk akal. Tapi kamu tahu sendiri, kan, daya ingatku bagaimana? Hehe.

Jumat, 17 Maret 2017

#3

KIRANA!

Yaampun, sekali lagi aku terburu-buru menulis pesan ini.

Ternyata, nama kakakmu bukan Robi, Robbi, Robby, atau Romi, tetapi Chandra. Maaf banget. Aku bukannya lupa serta merta hanya karena kami sudah lama hilang kontak dan nggak berjumpa. Cuma... tau, ah. Aku malu.
 
 

Kok aku jadi bodoh, ya:(

#2

Kirana!

Kirana, Kirana.

Yaampun, aku buru-buru menulis pesan ini setelah baru saja iseng-iseng membuka buku kenangan. Ternyata, nama kakakmu Romi bukan Robi, Robbi, Robby, atau siapa pun itu.

Titip salam, ya. Dia sahabat yang baik, lho, Kirana. Sungguh, deh.

Tolong, jangan lama-lama membenci dia. Diaㅡkukatakan sekali lagiㅡsangat sayang padamu.

Minggu, 12 Maret 2017

#1

Kirana, Kirana.

Kasihan. Padahal Robi sayang sekali padamu.



Ngomong-ngomong, sebenarnya Robi itu tulisannya "Robi" atau "Robbi", sih? Atau "Robby"?

Sabtu, 11 Maret 2017

Cuaca Minggu Ini

Akhir-akhir ini cuacanya tidak bersahabat. Dua jam panas, tiga jam hujan deras. Di kampus cerah, di rumah badai. Aku jadi ingin di kampus terus saja.

Jumat, 10 Maret 2017

Kamis, 9 Maret 2017

3.33 PM

"Tomben, Chek, lewat sene?"

"Lage galo! Nggak pengen cepet sampek romah!"

Sabtu, 04 Maret 2017

Kamar Sebelah

Kadang saya ingin cepat-cepat lulus kuliah, kerja, lalu beli apartemen 2 kamar.

Tidak perlu besar-besar, yang penting cukup untuk saya dan orang tua serta adik saya kalau mau main ke sana. Tidak perlu nengah-nengah kota karena saya sumpek lihat manusia+jalan raya+muka mengerut-kerut kena macet di jalan. Yang penting ada jendela di kamar, ruang tengah yang karpetable biar bisa guling-guling pas lagi nonton televisi (meskipun saya juga nggak tahu kenapa harus guling-guling kalo nonton TV), dan kamar mandi yang nggak kecil-kecil amat (tapi nggak perlu yang ber-bathub juga, sih).

Intinya, saya mau apartemen yang senyaman-nyamannya tanpa perlu mewah-mewah. Dan poin pentingnya, saya bisa melihara kucing di kamar sebelah kalau saya sudah tinggal di apartemen nantinya. Perkara ibu yang bakal mencak-mencak sama kucing, dipikir nanti saja. Mungkin bisa saya jawab, "Doakan saja saya ada rezeki lebih, Bu, biar unit sebelah bisa saya beli sekalian. Nanti khusus buat nyambut ibu bapak sama adik, deh. Hehehe."



Saya dan keegoisan kecil saya.

Jumat, 24 Februari 2017

Pasir si Pendongeng

Gini, ya.

Jadi, alkisah, ada seseorang yang suka mendongeng. Sebut saja Pasir. Dia selalu mendongeng kepada boneka-boneka kayu di kamarnya. Pasir adalah orang yang ramah. Ia selalu membantu tetangganya yang kesusahan. Karenanya, pintu rumah Pasir tidak pernah absen dari ketukan dalam sehari. Kendati begitu, Pasir selalu merahasiakan kesukaannya dalam mendongeng dari tetangga-tetangganya.

Suatu hari, Pasir memutuskan untuk ke toko buku. Ia berjalan ke rak buku dongeng, kemudian memilih buku yang menurutnya menarik. Pasir memutuskan untuk membeli sebuah yang berjudul "Dongeng Untuk Teman Pinokio". Pasir pulang dengan wajah riang.

Namun, wajah riangnya berubah kesal seketika saat Pasir membaca cerita di buku barunya. Setiap lembarnya menambah satu kerutan di dahi Pasir. Hingga tiba pada halaman terakhir, Pasir mencak-mencak. Ia pergi menutup semua pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat. Tetangga-tetangganya yang mengetuk pintu diusir dengan bentakan. Pasir mogok mendongeng dan membantu tetangga-tetangganya.

Usut punya usut, dongeng yang dibaca Pasir di buku barunya sama persis dengan dongeng-dongeng yang selalu ia ceritakan kepada semua boneka kayunya. Pasir marah besar karena menurutnya, siapapun pengarang buku itu, ia telah mencuri ide-ide Pasir. Pasalnya, Pasir sendiri tidak punya bukti untuk datang melabrak sang pengarang. Tidak ada bukti bahwa Pasir gemar mendongeng. Tidak ada rekaman, tidak ada tulisan, bahkan tidak ada satupun tetangga yang pernah mendengarnya mendongeng untuk dijadikan saksi. Semenjak hari itu, Pasir yang gemar mendongeng tamat.

Tidak, Pasir tidak berakhir bunuh diri. Ia masih hidup dengan baik hingga hari ini, tapi sebagai pengrajin boneka kayuㅡkali ini tanpa satupun dongeng.

Intinya, kalau kamu punya hal-hal yang ingin kamu katakan, katakan saja. Bisa jadi ide-idemu adalah hal yang dibutuhkanㅡatau seburuk-buruknya, cuma dibutuhkan untuk perbandingan. Tapi setidak-tidaknya, kamu tidak akan menyesal karena selalu diamㅡdan main rahasia-rahasiaan.

Selasa, 21 Februari 2017

Painkiller

Saya jatuh. Dengan luka yang sama. Untuk kedua kalinya.

Ah, tapi memar sebola tennis ini cuma butuh painkiller besok pagi. Syukur-syukur kalau tiga minggu ke depan saya sudah bisa lari-lari.

Kalau memar di hatimu.... Ah, saya tidak tahu lagi.

Kamis, 16 Februari 2017

Barangkali Kamu Butuh Tidur

Hujannya deras, ya. Aku jadi menerka kamu sedang apa.

Nenek, di rumahnya, pasti tengah sibuk mengangkat jemurannya, jemuran anaknya yang berangkat kerja pagi buta, dan cucunya yang tiga bulan terakhir presensinya setengah iya. Biasanya, kalau hujan, nenek akan duduk di teras belakang, menatapi pohon belimbing lama-lama, menemukan satu atau dua buah yang sudah masak masih kecolongan dimakan kelelawar buah. Agak membosankan, tapi cukup menghibur sebenarnya, lebih-lebih untuk nenek yang terhimpit keramaian kantor ayah, tapi tetap saja, sendirian.

Barangkali kamu juga tengah kelimpungan sekarang. Hujan datang lebih awal dari yang kamu perkirakan, deras tanpa aba-aba. Barangkali kini kamu sibuk mondar-mandir. Kewalahan menadahi tetes-tetes kenangan. Yang merembes dari dinding keyakinanmu. Yang bertahun-tahun lalu kamu tataㅡbata demi bata. Namun kini lapuk digerogoti kesepian.

Hujannya deras di luar sana. Tapi semoga patah hatimu tidak sampai menguak-nguak luka lama. Atau mengairkan cerita sendu yang tidak ingin kamu dengarkan. Biar hujan ini pedih seadanya, sedih sewajarnya. Biar hujan selalu membuatmu ingin cepat-cepat menghambur ke peluknya. Atau pulang, tidak ke mana-mana.

Patah hatimu tidak bisa disemayamkan. Entah sampai kamu paham bahwa mantra obliviate tidak pernah benar-benar bekerja atau kamu jatuh pada yang lainnya.

Barangkali kamu tidur saja. Hanya itu penawar terakhir kalau kamu terlalu lelah mencari cangkir bagi kisah-kisah tua. Biar kamu juga tidak perlu repot-repot menyesap pahitnya.

Tapi aku tidak mau tanggung jawab. Kalau bangun nanti, kamu kuyup, oleh ketimpangan.





Yang juga,           

Kamis, 09 Februari 2017

:

Saya capek.
Capek jadi bodoh.

Di atas semuanya.
Saya takut.
Takut mengecewakan.

Dasar,
Nggak becus.

Rabu, 01 Februari 2017

Draft #1

Dari: diri

Untuk: insecurity

Pesan:
Kenapa, sih, kamu ada di mana-mana!

Selasa, 31 Januari 2017

Kamu Baik

Saya sungguh baik-baik saja

Dengan kebaikanmu
Yang tidak baik
Yang tidak baik
Bagi kebaikanku

Senin, 23 Januari 2017

Sabtu, 14 Januari 2017

Ketimpangan: Hidup Indomie

Katanya mau berubah?
Kok enggan melangkah?

Dasar, payah. Buat senang, kan, memang perlu bersusah-susah.

Kamis, 12 Januari 2017

Ketimpangan: Mampus, TPI-mu

Kadang kamu ingin dirindukan. Saking merindunya. Lalu kayak materi PIK di buku Deddy Mulyana, mendung dan hujan yang nggak salah apa-apa jadi mendukung banget buat bergalau ria. Mana This Town yang di-cover sama Kirsten Collins, Mario Jose, KHS sendu-sendu merdu.

Mampus. Inget, dong, TPI 1.500 kata masih dianggurin.

Kerja! Jangan cuma galau aja. Oh, dasar, manusia.

Rabu, 11 Januari 2017

Senin, 09 Januari 2017

Ketimpangan: Kamu Yang di Rembulan

Aku masih menatapmu dari jendela
Dan kamu cuma sibuk di sana
Pura-pura tidak peduli
Atau barangkali aku yang berharap
Kamu pura-pura tidak peduli

Jumat, 06 Januari 2017

Nggak Tahu Lagi

Susu dan sereal.

Mood sarapan pagi ini nggak sebagus kemarin (yang sebenarnya juga buruk). Sendok di tangan naik turun tapi nggak menyuapkan apa-apa, cuma kayak kaki bebek yang kecipak-kecipuk di air. Susu di mangkuk makin keruh warnanya karena koko krunch-nya mulai luntur. Sama kayak semangat yang pagi ini mulai terkontaminasi, kebanyakan mikir. Padahal nggak ada yang dipikir.

Ini baru perkara chatting dan debatnya luar biasa. Saya sampai pingin tidur aja. Entah kenapa tidur selalu jadi solusi yang manjur. Mungkin karena dengan tidur kita bisa menutup mata sebentar, mimpi indah, tanpa masalah, lari dari kenyataan. Meskipun kenyataannya, ya, kita tidak lari dari mana-mana. Masih di atas tempat tidur, mengulur waktu, dan masalah makin lama kelar.

Ini baru perkara chatting dan resahnya luar biasa. Saya perlu jadi agak egois sedikit atau saya terlalu egois? Saya nggak tahu lagi. Ketar-ketir, ingin ikut turun tapi saya sudah banyak main-main dengan singa dan kotak hitam. Saya sudah lama mengabaikan oranye yang menyala-nyala, rindu katanya.

Ah, apa saya terlalu egois? Apa malah kurang egois? Saya nggak tahu lagi.

Kamis, 05 Januari 2017

Kangen: Saya Nggak Percaya

Dia lelah katanya
Tapi masih berlarian
Di kepala
Di langit-langit mulut
Di telinga
Namanya apa?
Namanya siapa?

Kata ibu, kangen namanya

Kata saya, mustahil rasanya