Hujannya deras, ya. Aku jadi menerka kamu sedang apa.
Nenek, di rumahnya, pasti tengah sibuk mengangkat jemurannya, jemuran anaknya yang berangkat kerja pagi buta, dan cucunya yang tiga bulan terakhir presensinya setengah iya. Biasanya, kalau hujan, nenek akan duduk di teras belakang, menatapi pohon belimbing lama-lama, menemukan satu atau dua buah yang sudah masak masih kecolongan dimakan kelelawar buah. Agak membosankan, tapi cukup menghibur sebenarnya, lebih-lebih untuk nenek yang terhimpit keramaian kantor ayah, tapi tetap saja, sendirian.
Barangkali kamu juga tengah kelimpungan sekarang. Hujan datang lebih awal dari yang kamu perkirakan, deras tanpa aba-aba. Barangkali kini kamu sibuk mondar-mandir. Kewalahan menadahi tetes-tetes kenangan. Yang merembes dari dinding keyakinanmu. Yang bertahun-tahun lalu kamu tatać
”bata demi bata. Namun kini lapuk digerogoti kesepian.
Hujannya deras di luar sana. Tapi semoga patah hatimu tidak sampai menguak-nguak luka lama. Atau mengairkan cerita sendu yang tidak ingin kamu dengarkan. Biar hujan ini pedih seadanya, sedih sewajarnya. Biar hujan selalu membuatmu ingin cepat-cepat menghambur ke peluknya. Atau pulang, tidak ke mana-mana.
Patah hatimu tidak bisa disemayamkan. Entah sampai kamu paham bahwa mantra obliviate tidak pernah benar-benar bekerja atau kamu jatuh pada yang lainnya.
Barangkali kamu tidur saja. Hanya itu penawar terakhir kalau kamu terlalu lelah mencari cangkir bagi kisah-kisah tua. Biar kamu juga tidak perlu repot-repot menyesap pahitnya.
Tapi aku tidak mau tanggung jawab. Kalau bangun nanti, kamu kuyup, oleh ketimpangan.
Yang juga,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar