Aku ngambek, dan masih merengut setelah tiket masuk teater dua sudah berpindah dari tangan mbak-mbak berseragam di balik meja marmer ke tanganku, padahal bukan aku yang bayar.
"Sudah, mau kemana?"
Kalau di film, intonasinya pasti manis sekali, dengan bumbu-bumbu sabar dan senyum tipis ditebar. Tapi aku makin kesal, memilih menengok kanan-kiri, pura-pura tidak dengar, lalu seenak jidat melenggang menuju sofa kosong di ruangan. Kami tahu tidak mungkin duduk di sini sampai pintu teater dibuka dan penonton yang telah memiliki karcis dipersilakan memasuki teater. Jadi pertanyaan itu terlontar lagi,
"Mau kemana?"
Rasanya aku ingin menenggelamkan kepala orang di sofa bioskop yang tidak lebih empuk daripada sofa butut villa 1.3 juta di Trawas, lalu gulung-gulung di karpet hijau yang sampai sekarang aku masih wondering, itu pernah di-laundry nggak ya? Jangan triggered ya yang kerja di sana, aku beneran kepo.
Kami masih harus menunaikan 4-3 petang dan menyambut malam, lalu masih harus menunggu lagi sembilan puluh menit. Prioritas doi pulang cepat dan kami saling melempar terserah karena sama-sama malas berdebat. Tapi aku pasang wajah bete kalau ditawari tiket 16.45.
Aku memandangi tiket teater dua, menarik napas panjang, lalu memilih memejamkan matać
”merasa bersalah, bukannya terima kasih malah ngambek, lama lagi ngambeknya. Tiba-tiba angka dua yang cetakannya pudar itu tampak bergoyang-goyang, aku menyipitkan mata, kukira salah mataku, ternyata tidak. Angka dua itu mencuat, lalu terbang. Saat aku mendongak, aku masuk pada jendela obrolan di laptop Acer tua yang tebalnya hampir tiga centi, yang untuk tekan enter saja harus menunggu setengah menit.
Ada bola biru garis-garis di ruangan yang tidak ada ujungnya ini selain pesan terakhir dan angka penunjuk waktu tanpa topi telah dibaca. Aku ada di ujung yang lain, meski tidak ada ujung selain kotak layar yang membatasimu untuk melihat secara utuh paduan daftar obrolan. Aku adalah bola hijau jealous seperti warna sebuah festival-film-yang-aku-pernah-tahu. Dia menggelinding pelan, dan aku balas menggelinding, kaki kami saling bersentuhan, lalu seperti tersetrum, kami jadi pasangan yang sempurna untuk teman ngopi pahit di hujan rintik-rintik yang terlalu reda untuk hujan-hujanan tapi terlalu deras untuk diterabas, jealous ft. kesedihan.
"Aku ingin liburan keluarga!" Seperti sebuah judul-film-pendek-yang-pernah-kita-tahu.
Aku tersenyum tipis, sibuk membolak-balik katalog. Tapi mungkin aku buruk dalam menyortir, juga dalam membuat kategori-kategori yang cukup spesifik. Aku tidak bisa menemukannya dalam folder Baru, Belajar, Menghibur, juga Unknown. Kamu menunggu jawaban, aku masih memilah. Tunggu dulu! Tunggu sebentar! Aku akan mencarinya di My Computer karena aku lupa dimana menaruhnya. Duh, maaf aku gletak-gletek. Pencariannya akan sedikit lama.
Sambil menunggu, aku mengajakmu ke parkiran. Kita ngobrol dulu, dan aku akan buat pengakuan. Aku ingin bilang pada ibu dan ayah, "Ayo liburan bareng." Tapi itu ide buruk. Karena yang baik cuma angan-angan aku, kamu, dia, dan mereka.
File yang kucari sudah ketemu. Isinya tidak memuaskan, aku urung memberikannya kepadamu. Aku tersenyum kecut sambil menarik pelan kotak di tanganku. Air mukamu berubah kecewa. Angka dua terbang kembali ke tiket teater duaku. Adzan berkumandang di luar gedung bioskopć
”yang tentu kami tidak dengar. Aku mengajaknya pergi ke musala. Tidak ada yang enak di dunia ini, selain kita tahu cara menikmatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar