Terima kasih. Meskipun saya benci mengakui kenyataan bahwa saya pernah dirawat dan dibesarkan. Bahwa saya harus legowo dan nrimo, tapi tidak putus asa.
Saya sungguh berterima kasih. Atas hari-hari yang mencekik sehingga saya merasa benci pada sekolah, kelas, mata pelajaran, teater, dan semua hal yang menurut saya harusnya menjadi masa-masa paling berkesan.
Rumah tidak salah. Ia memang tempat kembali meski rumah bukanlah ruang dimana kepala selalu menemukan sandarannya, atau kotak tempat menaruh segala resahã…¡sebab boleh jadi rumah adalah salah satu sebab resah paling berkepanjangan.
Kemudian saya menyadari bahwa ternyata di rumahlah resah bisa tumpah, tangis dapat pecah, marah menjadi sah, dan rindu selalu berbalas. Bahwa pelukan paling hangat memang hadir dari orang yang seringkali sulit untuk diucapkan maaf, terima kasih, dan sayang. Bahwa realita yang sulit saya terima adalah seluruh waktu, tenaga, materi, dan mental yang dibaja-bajakan ini telah melalui serangkaian tempaan yang menjadikan saya sebagai saya yang seperti ini, yang seperti sekarang ini. Bahwa definisi rumah buat saya seringkali meleset dari apa yang dikonstruksikan media dan masyarakat. Bahwa bagi saya, rumah adalah tempat yang sering ingin saya tinggalkan dengan berbagai alasan. Bahwa rumah adalah institusi paling kejam, lebih-lebih saat saya diseret secara paksa keluar dari zona nyaman, padahal katanya rumah adalah tempat paling nyaman.
Tapi rumah tetap tempat berpulang. Atau setidak-tidaknya, ia pantas mendapat penghormatan. Terlebih ketika saya mulai paham bahwa rumah saya bukannya tidak normal jika dijajarkan dengan rumah-rumah tetangga yang rumputnya selalu lebih hijau menurut peribahasa. Rumah saya hanya memiliki caranya sendiri untuk membesarkan saya. Bahwa mungkin caranya bukanlah yang terbaik menurut saya, tapi paling efektif untuk membangun saya. Bahwa untuk capaian yang besar, saya memang harus siap dihantam proses yang besar pula.
Saya masih saya yang pendiam. Saya masihlah saya yang sulit beradaptasi dengan hal-hal baru. Saya masihlah saya yang sulit menerima perubahan. Saya masihlah saya yang temperamen, pendendam, penuh ketidakpercayaan, dan ceroboh dalam mengambil keputusan. Saya masih benci berbicara di depan banyak orang, masih benci pada kerumunan, masih benci ketika harus memimpin karena ketidakmampuan saya. Tapi setidak-tidaknya saya telah menjadi saya yang masih dari saya yang sangat. Dan saya masih harus siap ditempa di rumah lainnya jika saya masih berkeinginan untuk menjadi saya yang tidak dari saya yang masih.
Suatu ketika, saya dihadapkan pada keadaan yang di luar perkiraan saya, saat saya rasa semuanya sudah cukup di luar apa yang saya perkirakan. Saya panik. Dan itu adalah serangan paling mendadak nomor dua setelah yang pertama ketika menjadi moderator pengganti saat pemutaran reguler. Terima kasih untuk Marie yang menenangkan saya, juga Izal yang merelakan lengannya jadi tempat pereda seluruh kekhawatiran saya, meyakinkan bahwa saya tidak apa-apa. Meski beberapa saat setelahnya saya sesenggukan di paha Dj.. Siang itu Dj. marah dan saya paham ia marah sungguhan dan tidak. Kami tertawa. Saya juga. Saya cuma bisa tertawa. Dj. kesal. Saya masih tertawa. Dj. ngedumel. Saya masih tertawa. Saya dan rasa insecurity yang siang itu menjelmakan diri sebagai kaca-kaca yang saya usap bersama tawa sedih campur malu campur keinginan saya untuk ditelan karpet ruang Rocs saat itu juga.
Saya masih harus banyak dipukul dan dihantam dan dibiarkan remuk, jatuh, patah, luka. Agar kemudian saya bisa merdeka dari diri saya sendiri.
Terima kasih. Semoga saya mampu menjadi yang suci dalam pikiran, benar jika berkata, tepat dalam tindakan, dan dapat dipercaya seperti bait-bait yang sama-sama kita hafal di luar kepala.
ps. terima kasih juga telah mengajarkan saya bahwa yang terbaik belum tentu yang terbaik :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar