Jana sudah. Aku menyuapinya serampangan, setengah sadar, semalaman. Pokoknya kamu kenyang. Dan bersih. Dan rapi. Nggak belepotan. Pokoknya kamu kenyang, tenang, aku senang, meskipun nggak terlalu tenang. Gimana kalo nanti kamu sakit? Batuk-batuk, misalnya. Atau meler. Tapi masih bagus. Gimana kalo nanti kamu kenapa-napa? Ya, salahku, sih, sebenarnya. Maumu apa coba. Kalimat terakhir tadi teguran untuk diri sendiri.
Pani tumben-tumbennya manja. Ia menarik-narik ujung cardiganku dan aku bingung harus bagaimana. Bentar, dong, sayang. Ada yang harus aku jenguk dulu.
Aku menjenguknya. Tapi dia sedang ngambek, sepertinya. Kami kayak orang musuhan, padahal aku merayunya mati-matian. Ingin kunyanyiin Rayuan Pulau Kelapa jadinya, tapi dia nggak suka lagu mendayu-dayu. Dia ingin lekas sembuh. Aku juga! Enak saja. Bukan aku tidak sayang, cuma kami tidak akur. Pinginnya bareng, tapi nggak juga.
Yaudalah ya. Terserah. Semoga Jana senang, juga sehat. Pani, sabar dulu, ya. Aku nggak menomorduakan kamu, cuma memang harusnya seperti itu. Dan kamu, yang aku bahkan tidak tahu panggilanmu, tolonglah berkompromi sekali saja. Aku juga tidak mau marahan terus denganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar