Terakhir kali, kami melakukan tos-selamat-jalan. Aku mengantarnya dengan hati-hati yang hanya sampai di kerongkongan. Rasanya aneh. Berhari-hari sebelumnya aku merasa kelelahan, kewalahan meladeni jadwal, ego, dan gengsi. Tapi harus kutekan dalam-dalam agar kejutan ini tetap mulus jalannya, meski pada akhirnya ia menciumnya juga.
"Kamu kenapa?"
Aku mencoba tertawa, tapi kemudian aku memang tertawa saja. Lucu sekali. Aku sedang melakukannya untuk diriku sendiri, ternyata. Maka kuputuskan untuk mengajaknya kembali ke kamar dan tidur saja sebelum besok akan menambah lelah dan kuharap juga senang. Kami berbicara soal sapi-sapi, perkawinan, lagu-lagu nostalgia, bintang-bintang, dan keserakahan.
Barang-barang di troli bandara menyibukkanku sehingga aku tidak perlu repot-repot mencari topik. Kemudian canggung tersenyum di dashboard mobil menemukan kekhawatiran yang tidak sengaja kutampakkan. Aku meliriknya tajam, ia tertawa puas. Sialan!
Saat itu, kami berkabar sekedarnya. Ada satu hari dimana kami memilih untuk jalan-jalan saja. Dua puluh sekian masih agak lama, kami harus bersabar. Sampai hari ini, kami membangun rencana-rencana dan membiarkannya digerus ombak pesisir, kami akan membangunnya lagi di siang hari, kemudian akan kami temukan mereka tercecer, hilang, dan terlupa keesokan paginya. Bulan dan pasang, kami menikmatinya dengan berbaring, menunggu laut naik ke atas tubuh kami dan menggelitik dengan jemarinya yang teramat luas. Kami bergandeng tangan sampai adzan subuh terdengar. Akan kami berlarian dengan kaos yang lekat dan terawang, dengan tawa-tawa kecil yang kami telan di antara senyum gigi-gigi gigis dan matanya yang melengkung seperti sabit yang baru kami pandang. Aku ingin berpelukan dengan jari-jari yang bersilangan. Nanti, kami akan terbangun di hari yang lain, berjalan sendirian, berpunggungan, lalu kami cari sisa-sisa rencana yang semalam kami biarkan diambil laut ketika kami keasyikan bertatap-tatapan.
Di stasiun baru, aku menyampirkan satu kantong plastik jajan. Kami merasa seperti akrab kembali setelah seribu enam ratus dua puluh tujuh hari menjalani hubungan berjarak. Aku ingin kami berjumpa lagi kapan-kapan, aku ingin kami tetap menjadi teman baik meski banyak hal yang berubah.
Sama, aku juga ingin kami tetap baik meski terus berubah, meski laut akan selalu menelan rencana-rencana kami, aku ingin tetap dapat berbaring bersama dan tergelitik bersama saat ombak menghantam dan memijit tubuh kami.
Hingga nanti, jika ternyata kami terluka karena landak laut, aku ingin mengobatinya tanpa penyesalan, agar tidak ada tujuh tahun lainnya yang menyeretku ke segitiga bermuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar