Sehari, seharu
Aku senang kita bertemu. Setidaknya, untuk beberapa saat aku lupa bernapas susah rasanya. Atau aku punya alasan untuk pura-pura tak apa.
Cha, aku belum memikirkan ingin kemana, tapi rasanya kok sepertinya aku akan pergi jauh? Boleh, Cha?
Baik, lho. Berupaya.
Kadang perlu tahu kapan harus berhenti dan menyadari bahwa diam tak berarti stagnan. Tahu batas, jangan keras-keras, nanti bundas.
Sudah biasa, Cha. Kalau terbentur kaki meja, menyikut gagang pintu, menabrak tiang bendera, aku sudah pernah semua dan saking seringnya kadang lupa. Kok ini memar, ya? Luka biasa, tapi tidak cantik.
Sesak itu belum reda,
dan belum hilang jua.
Barangkali batas itu sudah kutahu, tapi
kemudi ini bukan aku yang pegang kendali.
Bilamana ada jiwa ada raga, kami ini sering duduk bersebelahan di jok depan. Aku bilang, "SUDAH!" tapi raga budeg, kupingnya buntu disumpal musik dan hentak angin jalan tol ber-gembrebek bikin sumpek. Dia gas pol, aku gemas ingin nampol.
Cha, jalan masih jauh, ya?
Ini rest area atau apa? Aku mau tidur yang lama dan panjang, apa diizinkan? Aku mau dikenang, tapi atas apa? Yang berisik itu kepala, yang diam dibungkam suara lainnya.
Cha bukan mobil. Chacha bukan permen.
Cha cha cha, bukan hometown.
Teh teh teh, tak dengan kang.
Cha, cha, cha, cha, cha, cha-atnya lambaikan tangan, mari katakan, chalamat jalan~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar