24 jam itu akhirnya berlalu juga. Aku tidak perlu repot-repot menghindar meski masih ada-ada saja kail yang menyangkut di tumitkuㅡsehingga aku tidak bisa berlari dengan leluasa.
Lega rasanya ternyata semalam aku tidak jadi menabrak meski setelah menghadap kanan aku kehilangan beberapa detik yang luput dari hitungan, yang iya, sebenarnya selalu kulakukan dan terjadi. Adalah hari kedua aku mencari-cari biasa yang kutinggalkan di Surabaya 4 hari lamanya, lalu begitu di sini kukira ia tertinggal di Kediri.
Ingin rasanya aku mengobok-obok bak mandi, lalu bertanya pada kedua ikan pak Jali, kepada yang lebih gendut sedikit, aku akan tanya apakah banyak orang menyangka ia lebih tua dari temannya, atau apakah orang-orang menyangka ia kakaknya? Siapa yang tahu mereka saudara atau bukan kalau bukan keduanya? Kepada yang lebih kecil dan sering menjauhiku, aku akan tanya apakah ia malu denganku? Atau bagaimana rasanya berhari-hari menatapku, kamiㅡNanta, Dj, Jak, Lon, Arㅡjuga keluarga pak Jali, mandi telanjang di hadapannya? Aku sungguh penasaran, apakah telanjang juga tabu bagi ikan-ikan yang berenang tanpa pakaian?
Lucu sekali bahwa akhir-akhir ini aku merasa jahat-jahat sekali. Sialnya, aku suka, dan aku tidak suka karena aku menyukainya, tidak suka pula untuk mengakuinya bahwa aku sedikit suka aku suka. Suka-suka Shizuka, dia banyak yang suka. Toh kalaupun Dekisugi pintar, tampan, dan kaya, pemeran utamanya tetap Nobita.
Sepanjang aku diam dan rumah-rumah serta kendaraan berlalu mengantarku pergi dari Surabaya, aku ingin menepuk satu demi satu dengan teramat cepat, dengan berlari dari ujung gerbong ke ujung lainnya, rasa memiliki yang terlalu menyesakkan ruang-ruang di gerbong lima, biar hening ganti menampar kesadaran bahwa di tempat ini kita tidak sendirian. Tampar saja aku, tampar saja! Aku memang sedang ingin sok jadi pahlawan.
Padahal, di hari-hari yang panjang itu aku terus merasa terhimpit oleh pertanyaan-pertanyaan seputar vaksinasi, ketepatan bahasa jawaku yang kacau sekali, cara-cara yang tepat untuk pergi ke kamar mandi di malam hari, juga rasa penasaran mengenai air bak mandi yang kuusir dengan lamunan tentang...bagaimana bertanya kepada responden nanti, misalnya.
Ketika akhirnya kami telah selesai, aku menyadari betapa ternyata yang kubutuhkan bukan sarapan cornflake dengan susu greenfields, atau lele goreng dengan pecel, atau roti tawar ovomaltine, atau choco chip cookies starbucks. Aku tidak menikmati mandi bersama ikan, tidak pula menikmati sandal yang lembab dan menguap di setiap siangnya, banyak yang kubenci tapi ternyata aku suka untuk menjadi tidak sendirian. Ternyata meski takut aku selalu ingin didengarkan, seperti nyamuk-nyamuk yang kecil dan berbisik-bisik nyaring tentang harinya di telingamuㅡjangan tepuk aku :(
Sewaktu kami pulang, bu Jali menitipkan syukur-syukur lewat mangga yang kami bagi di kereta, lalu perpisahan di Sepanjang dan berakhir di Gubeng Surabaya. Aku menunggu ayah, tetapi tidak marah-marah. Kepada mas-mas Dunkin Donuts yang ramah, aku sungguh ingin bertanya, tapi aku memilih berdoa saja kemudian. Semoga masnya selalu mendapati hari yang genap dan penuh, seperti ketika masnya mengisi kembali rak-rak donat yang kosong dengan dua-dua-dua yang ditata rapi, cepat, dan cekatan. Semoga juga cahaya selalu ada, meski tidak selalu hangat.
Di jalanan Surabaya, aku membayangkan kembali jembatan di dekat rumah pak Basori, yang airnya selalu mengalir, saling berkejar dan bertumbukan di batu-batu kali. Kemudian aku berdoa lagi, Semoga juga, nampan-nampan yang kosong segera disambut pintu kontainer yang terbuka, melahapnya dengan b-a-h-a-g-i-a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar